Minggu, 21 Desember 2008

PEMBEBASAN DALAM KITAB ESTER (KESIMPULAN)

Dalam Perjanjian Lama, pembebasan pada satu pihak berarti pembebasan dari kuasa yang menjauhkan manusia dari pengabdian dan pemujaan kepada pencipta-Nya; di pihak lain, adalah kebahagiaan positif dari kehidupan. Kemudian pembebasan juga dapat berarti, persekutuan dengan Allah dalam perjanjian-Nya, di tempat di mana Ia berkenan menyatakan diri dan memberi berkat. Dalam pengertian ini, pembebasan berarti memiliki dua dimensi. Hal yang berkaitan dengan aspek rohani dan jasmani. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan, karena merupakan aspek yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan pembahasan dengan judul “Pembebasan dalam Kitab Ester: Suatu Refleksi terhadap Reaktualisasi Spiritual dalam Mengalami Karya Allah (Studi Eksegesis-Teologis Kitab Ester),” penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: Pembebasan dalam konteks Ester adalah bebas dalam pengertian terlepas dari pemusnahan. Sedangkan secara teologis pembebasan ini adalah wujud pemeliharaan Allah terhadap umat-Nya, yang secara sosial tertindas oleh karena tetap memilih tinggal di negeri penjajah. Allah memberikan perintah kepada umat-Nya untuk kembali ke tanah perjanjian, tetapi sebagian mereka memilih untuk tetap tinggal. Ketidaktaatan terhadap hukum Allah membawa mereka pada penghukuman.
Hadirnya Haman sebagai keturunan Agag, adalah alat untuk rencana-Nya. Dengan demikian, tuntutan pembebasan adalah kenyataan wajar umat akibat penderitaan. Hal ini merupakan afirmasi pengetahuan akan Allah, dan menguatkan iman umat sehingga orang kafir melihat kebesaran Allah Israel. Maka dengan hal ini, Yahweh tetap menjadi pusat pengharapan dalam segala sesuatu bagi umat yang percaya kepada-Nya. Semua ini terjadi bahkan mereka mengalami karya Allah (pembebasan) karena reaktualisasi spiritual (memulihkan kembali nilai-nilai spiritual di masyarakat ”puasa”) yang umat lakukan.

JADIKAN PERJALANAN HIDUP ANDA BERSEJARAH

Anda mempunyai kesempatan dua puluh empat jam untuk menjalankan kehidupan sehari seperti belum pernah Anda jalankan-sama sekali unik dan terpisah dan berbeda dari hari-hari lain. Dipenuhi dengan potensi dan kemungkinan, Allah memberi keduapuluh empat jam itu kepada Anda untuk menginvestasikan kesempatan kekal berharga seribu tahun. Joni Earickson Tada

Menjalani kehidupan terbaik adalah impian setiap orang. Namun kelihatannya, sebagian besar manusia senang membiarkan hidupnya mengalir begitu saja. Hanya sedikit yang berani memutuskan apa yang akan terjadi di dalam kehidupan mereka. Kalaupun membuat keputusan itu pun karena adanya desakan-desakan orang-orang sekitar, dan bukan akibat kesadaran diri menanggapi seriusnya masa depan. Apalagi, jika perjalanan hidup dipenuhi pengalaman pahit, kesukaran, kegagalan bahkan kelamnya kabut harapan sehingga semuanya membuat tertutup pintu masa depan. Membuat seseorang diselimuti tebalnya keraguan dengan melepaskan diri mengharapkan alternatif. Hal-hal penting dengan segera menjadi pudar, tergantikan dengan kepuasan akibat pemenuhan terhadap standar-standar tertentu.

Menikmati Perjalanan Anda
Pemandangan lama terhadap hidup yang digerakkan ketakutan menjadi penuntun kuat dan pemandangan tersulit untuk dihilangkan. Banyak orang berusaha bertahan hidup tetapi membiarkan diri larut dalam bayang-bayang kekelaman yang mengarah pada kefasikan. Tegasnya, tidak menikmati perjalanan hidup yang sesungguhnya. Tahu Sorga tetapi tidak menikmati perjalanan ke Sorga.
Dewasa ini, berapa banyak anak-anak Tuhan, pemimpin organisasi Kristen, keluarga Kristen bahkan hamba-hamba Tuhan yang melayani umat sedang melangkah menuju perhentian mematikan akibat terpusingkan masalah hidup serta kebosanan internal yang berlangsung tanpa henti. Sehingga harapan untuk menatap masa depan yang menjanjikan dan berkekuatan menjadi tidak digubris.
Hal ini tentu mengisahkan kisah sedih dengan berbagai pertanyaan serta kecaman yang ditimbulkan akibat pergulatan kisah yang semakin meningkat menjadi tak terbendung lagi. Mengapa gereja menjadi lesu? Orang Percaya menjadi tidak antusias? Keluarga menjadi tidak bahagia dan harapan menjadi mati? Mati mata pencaharianku, mati masa depanku!

Terganggu dalam Perjalanan
Ketakutan mereka dinilai sebagai kewajaran karena umum dilakukan sebagian manusia. Kualitas terbaik dari hidup yang dijalani tidak tertampil dengan baik, terkalahkan besarnya keraguan hidup. Sehingga keengganan terlihat lebih tebal dibanding keseriusan dalam berkarya. Ketidakaktifan menonjol dibanding kemauan kuat menghasilkan manfaat bagi sesama.
Parahnya lagi, mereka membiarkan diri tercebur dalam keruhnya kubangan masalah sehingga berakhir tanpa jalan keluar, memilih menjalani kehidupan dengan keputusasaan berkepanjangan sehingga tidak bereaksi terhadap gejolak himpitan hidup, tidak menuntut terbaik dari kesempatan, digirangkan hanya dengan pencapaian rata-rata dari kemampuan mereka yang sebenarnya tidak biasa - semuanya itu menggantikan ketertarikan untuk mencapai lebih dengan kesungguhan yang tidak biasa. Sehingga pembeda sesungguhnya dari hidup menjadi tidak nampak dan berhenti menarik perhatian sekitar.
Sebagai umat Allah, kerinduan hati-Nya adalah menjadikan kita pembeda yang siap tampil bermanfaat, menjadi berkat dan menguntungkan bagi sesama. Lewat apa yang ada - terlebih hidup yang dijalani dengan baik-kita memaknainya dengan tidak melewatkan setiap kesempatan baik dan berharga yang hadir dalam perjalanan hidup kita. Karena setiap pribadi dipanggil untuk menjadi berguna dengan bermanfat bagi sesama. Mampu menghadirkan perubahan nyata pada kelambanan dari kecintaan terhadap hidup.
Sekarang, tiba saatnya melakukan sesuatu dengan hidup Anda. Termasuk masalah yang datang dalam kehidupan Anda. Daripada hanya membiarkannya dengan bekas-bekas yang ada di dalamnya, Anda dapat mengubah masalah itu menjadi peninggalan bersejarah bagi sesama. Dengan demikian Anda dapat memastikan menikmati perjalanan hidup Anda. Dan, sambil memastikan perjalanan Anda sedang tidak terganggu.

”DIKALA PENGETAHUAN MEMBATASI KASIH”

Kita sering diperhadapkan pada sebuah pilihan dan tidak jarang pilihan itu membutuhkan pemikiran serius. Antara menolong ataukah terdiam melihat kebutuhan sesama karena kita pun sebenarnya sedang membutuhkan pertolongan. Apabila menolong harapan dan rencana untuk pribadi, keluarga dan orang lain bisa gagal tetapi kalau tidak berbagi hati tidak sejahtera karena menolong adalah panggilan mulia? Manakah yang harus menjadi prioritas kita?
Pengalaman itu terjadi sekitar tahun 2007 lalu saat saya ke Jogya untuk Wisuda program Sarjana. Ada seorang teman yang datang dan kalau bisa mau pinjam uang untuk wisuda. Dan saat itu memang saya ada uang tetapi untuk persiapan bayar tiket pesawat terbang Jogya-Timika. Dan, pengetahuan yang melibatkan analitis kritis pun bergejolak antara menolong karena orang lain butuh dan mengabaikan rencana pribadi (belum tahu pastinya kapan uang dikembalikan) atau tidak menolong orang lain sehingga rencana dan kebutuhannya terabaikan?
Namun, selang beberapa saat setelah berfikir saya memutuskan untuk meminjamkan uang yang harus saya pakai untuk bayar tiket dan menunggu hingga uang itu dikembalikan. Hari berlalu dan minggu pun berganti uang yang dipinjam belum juga kembali. Apa yang harus kulakukan?
Adakalanya pengetahuan terbaik kita muncul dan menjadi benteng perlindungan paling aman bagi kita. Proses berfikir mendahului dalam segala sesuatu terlebih pengambilan keputusan. Manusia dalam keberadaannya, paling bisa menerima orang lain apabila orang itu menyenangkan. Menolong orang lain jika memberikan harapan, menjanjikan sesuatu - paling tidak menguntungkan bagi yang ditolong.
Orang lain dihargai karena pencapaian apa yang dibuat bermanfaat bagi orang lain. Dan, terlalu sering ini menjadi pengejaran berarti bagi kebanyakan orang. Segala sesuatu baik pekerjaan maupun pelayanan penuh pengabdian didasarkan pada motivasi tidak tulus-ingin dihargai sesama. Hingga akhirnya, tidak jarang pengabdian berubah menjadi petaka dalam hati yang sulit terobati karena terpendam.
Masalah yang ada hendaknya membuat kita berbagi kehidupan bagi sesama. Jangan membatasi diri karena hanya ”ada masalah” menutup hati untuk mengasihi.
Jangan sampai panggilan kita untuk mengasihi sesama terhilang karena penguatan terhadap masalah pribadi. Tidak mau berbagi karena merasa tidak ada yang dibagi. Jangan batasi kasih Anda!

DAN, TUHANPUN TIDAK SALAH MENGHITUNG

Ketika membaca sejarah kehidupan orang-orang besar, saya menemukan bahwa peperangan pertama yang mereka menangkan adalah perang terhadap diri mereka sendiri... bagi semua orang-orang besar itu, disiplin diri merupakan hal yang pertama. Harry S. Truman

Disiplin diri merupakan pemisah diri yang sesungguhnya. Di dalamnya, manusia berusaha berpasrah diri kepada Pencipta dengan ketundukan untuk menjalani kehendak-Nya. Lebih mengedepankan kemauan Tuhan dari pada kenyamanan pribadi yang biasa, tanpa bisa terganti oleh apapun. Namun, dengan disiplin diri, berarti yang biasa tidak terganti, menjadi terganti bahkan terubahkan – karena pengejarannya adalah ”pembentukan menjadi.”
Ayub adalah pribadi yang menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya. Ketika ujian iman datang - keluarga, harta kekayaan menjadi taruhan, Ayub terbukti menang dalam kesemuanya. Ketidaktahuan Iblis terhadap integritas Ayub terbukti, dan Allah Sang Mahatahu membuktikan kepada Ayub bahwa Iblis tidak memiliki pengertian terdalam dan jauh seperti diri-Nya. Apa yang Allah lihat dari Ayub tentang karakter dan kesalehannya adalah kebenaran tetapi bagi Iblis yang tidak mahatahu jelas ia membutuhkan bukti atas apa yang Allah nyatakan tenatang Ayub.
Dari kisah Ayub yang adalah seorang yang takut Tuhan dan hidup berdisiplin namun mengalami masa-masa sulit dan hal itu banyak menjadi kebingungan bagi banyak orang, sesungguhnya kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa takut Tuhan tidak pernah menyusahkan. Diakhir kisah Ayub, Allah memberkati Ayub dengan berlipat ganda berkat. Allah tidak pernah salah menghitung apa yang terbaik untuk dibagikan bagi anak-anak-Nya. Kalaupun harus dilipatgandakan berarti Allah percaya Ayub berhak menerimanya.
Maka dari itu, belajarlah menjadi pribadi yang pantas untuk diberi berlipatganda oleh Tuhan. Pantas diberikan tanggung jawab untuk menghadirkan perubahan. PANTAS DIPERCAYAKAN DOMBA-DOMBA-NYA KARENA ANDA PUN MEMPERPANTAS DIRI DALAM MELAYANI DOMBA-DOMBANYA. Dalam hal ini, diperlukan kesetiaan teruji untuk menghadapi masalah. Masalah datang Alahlah jalan keluar. Ia tepat menghitung kekuatan dan kelemahan kita. Dan berkat apa yang pantas diberikan untuk kita saat masalah datang.


PERJALANAN YANG MENYENANGKAN
Perjalanan hidup memang tidak selalu indah. Terkadang kesukaran, kegagalan, kepahitan, kehancuran, kehilangan bahkan kematian datang tak terduga, melepaskan semua harapan atas apa yang direncanakan. Akibatnya, kekecewaan terhadap hidup serta penyempitan makna bahwa sesungguhnya hidup adalah sebuah ”proses” menjadi tidak menarik, omong kosong bahkan mati.
Parahnya lagi, jika hal ini berdampak pada penilaian serta pemahaman bahwa Sang Pemberi hidup juga tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang dialami. Ia ada (teisme) sebagai Pencipta segala-galanya, tetapi kehadiran-Nya jauh meninggalkan ciptaan-Nya (deisme). Bahkan banyak orang mulai diselimuti tebalnya keraguan, dalamnya kubangan kekecewaan terhadap kepercayaan bahkan sempitnya pemahaman bahwa Allah hadir tetapi intervensi-Nya ternoda.
Bahkan yang menambah sulit persoalan adalah apabila kehidupan berjalan terbalik dari yang kita kehendaki. Saat jalan keluar terhadap masalah tak didapati dan seolah semua menjadi irama perjalanan hidup yang penuh kegagalan. Namun sesungguhnya tidak demikian kita harus memahami hidup dan persoalannya. Penilaian kritis kita terhadap hidup tidak menjamin keperbaikan hidup yang kita jalani, apalagi harus putus asa dengan hidup. Tetapi jauh lebih indah adalah bersama dengan siapa anda menilai hidup (Yesus) pasti membawa keterjaminan hidup Anda. Belajarlah menilai hidup bukan sebatas hari ini, tetapi lihatlah pada perjalanan menuju masa depan. Dan, pastikan perjalanan anda menyenangkan.

”APA YANG TERJADI HARI INI TINGGALKANLAH KENANGAN” (Sebuah Kontemplasi Terhadap Pengalaman Hidup)

Siang itu, cuaca di Kota Timika-Papua sangat panas, sementara saya membaca bahan untuk persiapan mengajar bagi Mahasiswa PAK, saya tertidur di kamar Gereja dengan pintu terbuka. Tanpa saya sadari, saat terjaga, di depan pintu kamar berdiri seorang Pria kekar hitam membawa Pisau ditangan. Seketika saya kaget, bangun dan bertanya kepada Pria itu; ada yang bisa saya bantu? Pria itu tidak menjawab dan dengan muka tidak bersahabat (mata merah) ia masuk ke kamar dan mendekat sambil berkata: HP itu kasih saya!!!
Dengan tidak menggubris, nada mengancam, ia tetap memaksa meminta HP yang saat itu tergeletak di kursi disamping tempat tidur. Akhirnya, saya mengalihkan perhatiannya, saya berusaha keluar dari kamar dan mencari bantuan untuk situasi yang terjadi. Namun, tidak ada seorang pun yang ada bisa dimintai bantuan. Situasi dan kondisi itu benar-benar membuat saya bingung dan cemas. Saya kembali ke kamar dan mendapati Pria itu keluar, membawa Pisau dibalik baju beserta HP saya. Saya terdiam duduk, dalam hati berdoa dan bertanya; apa yang terjadi hari ini, apa yang bisa saya pelajari?
Saya merelakan HP saya dan membiarkan peristiwa itu menjadi pelajaran berharga bagi saya saat itu. Dan, ternyata selang beberapa saat HP itu kembali.
Lewat peristiwa itu saya belajar bagaimana respon kita dalam menghadapi masalah sangat menentukan hasil akhir-menang atau kalahnya kita MENGUASAI KEADAAN. Saya bisa saja terpengaruh dengan keadaan untuk setuju dengan teriakan orang untuk melaporkan masalah ini ke Polisi, mengutuki atau menyumpahi Pria itu tetapi saya adalah Hamba Tuhan tugas saya adalah berdoa dan memungkinkan diri belajar dari setiap masalah yang terjadi.
Namun, berapa banyak diantara kita justru tidak bisa belajar dari setiap masalah. Apalagi menjadikan masalah hidup sebagai peninggalan bersejarah bagi orang-orang disekitar kita. Kita cenderung kalah terhadap situasi yang menekan kita. Kita tidak bisa menilai masalah yang terjadi. Hari-hari ini, mungkin kehidupan memukul kita dengan keras hingga menimbulkan teriakan penuh kesakitan bagi Anda. Mungkin ada perlakuan kasar, pengabaian, penolakan, kehilangan pekerjaan, dianogsa penyakit yang buruk, kehilangan jabatan, pernikahan diujung tanduk, jeratan hukum, tagihan hutang, ada orang yang mengambil keuntungan dari Anda. Ketika semua itu terjadi dapatkah Anda meninggalkan sejarah dari setiap masalah yang ada. Dapatkah anda mengukir sejarah dari setiap masalah. Dengan mengikuti proses, maukah anda mengubah menjadi indah masalah yang anda hadapi. Anda bisa memutuskan berbahagia dengan hidup anda. Meski, masalah datang, karena Anda tahu bagaimana mengukir sejarah dari setiap masalah.
Artikel ini saya tulis dalam waktu yang sangat singkat namun pesan dan ide yang terdapat di dalamnya merupakan pengalaman hidup yang sesungguhnya dan sedang saya tinggalkan menjadi ”kenangan bersejarah” dan bermanfaat bagi sesama. Apa yang terjadi hari ini tinggalkanlah kenangan indah bagi sesama.

Rabu, 17 Desember 2008

KESAKSIAN HIDUP (Pertobatan, penginjilan dan panggilan)

a. Pertobatan:
Dilahirkan ditengah-tengah keluarga Kristen, ternyata tidak menjadikan saya sebagai orang Kristen dan pemercaya setia Tuhan Yesus Kristus. Dari kecil hingga kurang lebih akhir SMP, saya melewati kehidupan yang ada jauh dari suasana bergereja, meskipun saat itu saya bersekolah di sekolah Kristen (SMP). Sampai akhirnya, saya masuk SMA (disekolah yang sama) dan disitulah merupakan titik awal perubahan hidup bagi saya, terlebih terhadap nilai-nilai yang saya percayai.
Sesaat menjelang pendaftaran untuk masuk SMA, ada seorang remaja laki-laki tetangga saya, ia datang menemui saya dan mengajak ke gereja. Saat itu jelas-jelas saya menolak dengan keras dan secara refleks mendorong dia hingga terjatuh dengan kepala berdarah karena terantuk batu. Kemudian ia pergi meninggalkan saya. Tetapi ada hal yang mengejutkan bagi saya adalah bukannya anak ini takut dan membenci saya karena perbuatan yang saya telah lakukan kepadanya melainkan justru ia datang lagi dengan satu teman disampingnya dan melakukan hal yang sama yakni mengajak ke gereja.
Tidak merespon, kemudian saya pergi meninggalkan mereka tetapi sikap dan perkataan anak itu terus bergejolak di pikiran saya. Kemudian suatu malam saya ke gereja tetapi hanya duduk diluar mendengar khotbah yang disampaikan oleh seorang ketua pemuda. Dia menyampaikan suatu pesan singkat dan sederhana namun sangat bermakna buat hidup saya. Ia mengatakan bahwa ada seseorang yang mengasihimu, menerimamu dan tidak pernah menolakmu naman-Nya Yesus. Saya pulang tetapi perkataan itu terasa menusuk, terus ada dipikiran dan sulit dihilangkan (karena saat itu suasana yang ada dikeluarga hanya pertengkaran bahkan saya sering tidak dirumah karena tidak tahan).
Malam itu, saya memberanikan diri untuk membuka hati, mengucapkan kata-kata itu dengan meyakininya dan menirukan doa yang di ucapkan ketua pemuda tadi. Sejak saat itulah, saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat Pribadi dan masuk SMA mulai mengikuti Pendalaman Alkitab yang diadakan di sekolah. Saya diajar banyak tentang kekristenan (Alkitab, siapa Yesus, dll) bahkan bagaimana berkhotbah. Sejak saat itulah saya mengerti apa dan bagaimana melayani dan oleh sekolah dipercayakan pelayanan khotbah di sekolah setiap hari jumat pagi.

b. Pengalaman dalam penginjilan:
Pengalaman pertama penginjilan adalah ketika akhir pendidikan saya SMA. Karena saat itu kedua orang tua dan adik saya belum percaya Yesus, saya selalu berdoa buat mereka (kurang lebih dua tahun). Tuhan berikan hikmat bagaimana supaya berita Injil bisa saya beritakan buat mereka. Saya punya kebiasaan saat itu, hampir setiap sore saya baca Alkitab dan memuji Tuhan memakai kidung jemaat. Kemudian Alkitab dan kidung jemaat itu, sesudah saya abaca dan pakai bernyanyi saya selalu taruh diruang tamu tempat biasa orang tua saya duduk. Harapan dan iman saya adalah orang tua saya mau membuka dan membacanya, dan akhirnya hal itu terjadi. Saya mendekati dan menjelaskannya dan mereka percaya. Saat ini keluarga saya sudah percaya Yesus bahkan keluarga dari bapak/ibu sudah ada yang percaya Yesus dan menjadi Kristen.
Untuk pengalaman penginjilan berikutnya, berlanjut ketika kuliah di STII Yogyakarta, saat itu saya pelayanan selama satu tahun di lereng Merapi dan sempat diusir warga karena berdoa untuk orang sakit di dalam nama Yesus. Dan, kemudian selama tiga tahun di gunung kidul.

c. Panggilan khusus:
Kerinduan untuk melayani-Nya sesungguhnya sudah ada semasa SMA, tetapi hal itu semakin mantap ketika akhir SMA. Saat itu banyak hal baik yang Tuhan buat lewat jawaban-jawaban doa. Pertama, orang tua percaya Yesus. Kedua, saat ujian akhir SMA mata saya terganggu karena minus, namun Tuhan menolong hingga saya bisa menyelesaikan unjian bahkan mendapat peringkat dua. Ketiga, saya diberi kesempatan khotbah perpisahan dihadapan guru, orang tua dan ratusan murid. Kemudian diakhir khotbah itu ada seorang Pendeta ia datang kepada saya dan bertanya selesai SMA, mau kemana? Saya bingung dan tidak tahu mau kemana. Kemudian bapak itu berkata mau nggak kuliah teologi? Karena tidak tahu apa itu teologi saya terus datang kepada Pendeta tersebut, ia membimbing saya dan akhirnya saya tahu apa itu teologi (dalam bahasa sederhana saya saat itu adalah sekolah Pendeta). Akhirnya, lewat proses panjang (karena orang tua tidak setuju dan tanpa biaya) saya melanjutkan ke STII Yoyakarta. Saya menyelesaikan Pendidikan theologĂ­a dengan proses yang sulit (pernah mau dikeluarkan karena tidak bisa membayar, kerja di Kampus, dll) tetapi tepat empat tahun saya bisa menyelesaikannya semua kemudian berangkat ke Papua dan satu tahun kemudian Wisuda. Dan, semuanya karena Tuhan.


Motto: "CUKUP MELAYANI TIDAK CUKUP MELAYANI"

“MENJADI PEMIMPIN PUJIAN YANG KREATIF” Oleh: Ev. Chornelius Sutriyono, S.Th*

PENDAHULUAN
Ibadah yang baik adalah ibadah yang berjalan dengan tertib dan teratur (bdk. 1 Kor. 14:40). Agar ibadah dapat berjalan dengan tertib dan teratur, maka perlu diatur dengan baik. Tugas pemimpin pujianlah untuk mengatur hal ini. Bila seorang MC (Pembawa acara) tidak mempersiapkan bagaimana dia akan memimpin kelangsungan ibadah, maka bisa dipastikan ibadah menjadi tidak terkendali.

PENTINGNYA PUJIAN DALAM IBADAH
I. Dasar Biblikal (Alkitabiah)
a. Ada beberapa contoh dalam Alkitab tentang bagaimana nyanyian puji-pujian digunakan anak-anak Tuhan untuk mengungkapkan hubungan mereka dengan Tuhan dalam setiap keadaan yang mereka hadapi. Kitab Mazmur adalah salah satu contoh yang tepat (Maz. 69:31-32).
b. Keluaran 15:1-21 – tentang nyanyian orang-orang Israel yakni sebuah lagu ucapan syukur dan pujian yang dipimpin Musa dan Miriam. Paling tidak ada tiga alasan mengapa mereka memuji Tuhan;
# Keberadaan-Nya (ay. 1a)
# Karya-Nya/apa yang telah dilakukan-Nya (ay. 2a)
# Pribadi-Nya/Dia milik mereka (ay. 2b)
c. Wahyu 5: 12 – layak!
d. Kisah 2:47 – gaya hidup!
e. Efesus 5:18-19 – tanda dipenuhi Roh!
II. Manfaat Pujian
1. Mendapatkan pengajaran tentang Alkitab mengenai kasih setia dan anugerah Tuhan yang melimpah.
2. Mereka dikuatkan dalam kehidupan sehari-hari
3. Mereka dipersatukan dan akrab
4. Mereka dapat bersaksi tentang iman kepada kristus

TEKNIK DASAR MEMIMPIN PUJIAN
Beberapa teknik dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pujian adalah;
1. Teknik Bernyanyi
Faktor penting dalam bernyanyi;
a. Produksi Suara; untuk menempatkan nada (bernyanyi) dengan benar, dibutuhkan latihan yang rutin dan kontinu, seperti pepatah berkata ”ala biasa karena biasa’ yang berarti bahwa sesuatu makin dapat dilakukan dengan baik karena biasa dilakukan. Demikian juga dengan menjadi pemimpin pujian. Makin sering dilatih makin baik kualitas yang dimiliki.
b. Pernafasan; tanpa teknik pernafasan yang baik seorang MC akan mengalami kesulitan dalam bernyanyi sekaligus memimpin jemaat bernyanyi. Sokongan teknik pernafasan sangat perlu terutama dalam menghasilkan frase-frase lagu (pengkalimatan lagu). Pengkalimatan lagu membantu jemaat dan MC (Master of Ceremony) untuk menghayati jiwa lagu tersebut.
2. Teknik Berbicara
Hal-hal yang perlu diperhatikan MC supaya dapat mengucapkan kata-kata dengan tepat;
o Gunakan kata-kata yang singkat, efektif, komunikatif dan sistematik dalam menyampaikan pesan atau ajakan.
o Jangan berbicara terlalu cepat sehingga maknanya tidak tertangkap
o Berbicaralah dengan jelas & menggunakan intonasi yang sesuai (jangan meledak-ledak)
o Bahasa formal untuk acara formal, bahasa informal untuk acara informal
o Jangan terlalu banyak bicara saat Jemaat merenung/bernyanyi
Kata-kata komentar/Motivasi;
Berdasarkan Firman Tuhan dan bersifat kontektual. Penting bagi MC untuk memahami bahwa dia bukan pengkhotbah.
Variasi dalam memuji Tuhan;
• Sambil berdiri (lagu penyembahan, pengutusan)
• Berpegangan tangan (lagu persaudaraan)
• Pakai gerak (kalau sesuai). Ini hanya untuk persekutuan biasa (informal)
• Tepuk tangan (bila cocok) sesuaikan dengan suasana.
• Bernyayi dengan suara penuh, setengah suara, lembut, lambat cepat, kanon (berbalasan), tanpa musik (bagian tertentu)
• Modulasi kunci yang lebih rendah atau tinggi
• Bernyayi hanya wanita, pria merenungkan dan sebaliknya

KEMAMPUAN SEORANG PEMIMPIN PUJIAN
1. Kemampuan untuk mempengaruhi jemaat
terdiri atas;
a. Kemampuan Spiritually (secara rohaniah, kepribadian MC memacarkan dan memuliakan Allah)
b. Kemampuan Psychologically (secara psikologis); pemimpin harus menunjukkan sikap positif
c. Physically (secara fisik): pemimpin harus memberikan Penampilan yang pasti dan meyakinkan
d. Musically (secara musikal); pemimpin harus memiliki pengalaman dan persiapan pendidikan yang memadai
2. Kemampuan untuk peka terhadap kebutuhan jemaat
3. Kemampuan untuk mengembangkan dan menggunakan teknik yang kreatif dalam menyanyikan pujian yang baik (suka menyanyi, kualitas suara yang cukup menyenangkan sehingga jemaat tidak berespon negatif, adanya sikap kepemimpinan yang meyakinkan)

PERANAN MUSIK DALAM IBADAH
Musik dihubungkan dengan ibadah dalam tiga cara;
1. Musik mengarahkan jemaat kepada tujuan dan semangat dari sebuah ibadah.
2. Musik melayani sebagai sebuah pendukung untuk menyembah, mengingatkan kebenaran-kebenaran iman yang mendasar dan pengalaman-pengalaman rohani para penulis atau penggubah lagu dan membagikan kepada orang lain.
3. Musik menjadi sebuah kegiatan dalam ibadah. Misalnya, ketika suara diangkat dalam memuji, musik menghasilkan sebuah tindakan nyata dalam ibadah.

Selain itu musik memiliki dampak;
 Memperkaya ibadah; sarana untuk mengangkat suasana dan masuk dalam kepenuhan ibadah
 Memimpin ibadah
 Mempengaruhi emosi, imajinasi, intelektual
Kesalahan-kesalahan yang berbahaya dalam pelayanan musik;
1. Musik hanya dijadikan penghibur belaka
2. Bernyanyi hanya sebagai tradisi
3. Hanya selera satu atau dua orang saja lalu dipaksakan ke seluruh jemaat
Kerjasama MC dengan pemusik; Latihan lagu pujian antara MC dengan Pemusik sangat diperlukan untuk menghasilkan jemaat yang bernyanyi dengan baik
o Intro lagu harus disetujui bersama
o Tempo dan nada dasar perlu dimengerti dengan jelas dan disepakati
o Kesepakatan untuk volume masing-masing alat musik
o MC perlu memberitahukan dan berlatih bagian mana yang perlu diulang dan perlu disepakati kode-kodenya

BEBERAPA MASALAH ETIKA DALAM PERJANJIAN LAMA

Allah sendiri “menyesatkan” Ahab (1 Raj. 22:19-23)
Dalam bagian firman Tuhan ini seolah-olah Ahab ditipu Allah melalui roh-roh jahat. Yang sangat membingungkan ialah bahwa Allah sendiri rupanya telah Mengambil inisiatif untuk menyesatkan Ahab.
- Tuhan sendiri berfirman: “siapa akan membujuk? (ay. 20)”
- Tuhan sendiri bertanya: “dengan cara bagaimana?(ay.21)”
- Tuhan sendiri mengutus: “biarlah engkau membujuknya…keluarlah dan perbuatlah demikian!”

Observasi berikut ini sangat penting;
a. Roh jahat itu memang sifatnya jahat dan selalu akan mengerjakan kejahatan sesuai dengan hakikatnya, dia dipakai Allah atau tidak? Allah dapat saja memakainya.
b. Perintah Tuhan kepada roh jahat: “keluarlah dan perbuatlah demikian!” Harus dimengerti dalam arti bahwa Tuhan mengizinkan dan tidak akan menghalangi lagi terjadinya pencobaan ini atas Ahab. Dengan kata lain, Tuhan tidak lagi memberikan anugerah khusus kepada Ahab untuk dapat bertahan dalam pencobaan.
c. Allah tidak menyuruh langsung roh jahat itu untuk merasuk Ahab, melainkan caranya ialah untuk membujuknya melalui ucapan para nabi palsu (ay. 20, 21, 22). Hal ini berarti bahwa Ahab tidak menjadi boneka yang digerak-gerakkan, melainkan harus menilai ucapan nabi itu. Sebenarnya Ahab harus dapat menyadari dan menolak para nabi palsu itu. Tetapi ia tidak melakukan hal itu.
d. Disamping itu TUHAN menyuruh Mikha bin Yimla, seorang nabi TUHAN yang setia, untuk mengungkapkan rahasia nabi palsu itu kepada Ahab serta memberitahukan malapetaka yang akan datang kepadanya. Dengan demikian Ahab diberikan banyak kesempatan untuk bertobat, tetapi ternyata Ahab tidak mau bertobat. Peristiwa ini sebenarnya merupakan ujian atas dalamnya pertobatan Ahab yang diberitakan dalam 1 Raja 21:27-29. Melalui peristiwa ini ternyata bahwa pertobatan Ahab tidak tahan lama, karena tidak dalam. Demikianlah dapat dkatakan bahwa Allah menyerahkan Ahab kedalam kebodohannya dan kejahatannya sendiri, yang akhirnya membawa akibat fatal.

Nabi Elisa mengutuk anak-anak yang mengejek dia (2 raj.2:23-25)
Ada beberapa observasi eksegetis yang sangat penting untuk mendudukkan reaksi Nabi Elisa pada tempatnya.

“Anak-anak kecil (ay.23, 24)”
Istilah anak-anak kecil dalam ayat 23 perlu dipahami secara tepat. Bentuk tunggal “anak” dapat berarti laki-laki yang berusia muda mulai dari bayi (Kel. 2: 6; 2 Sam. 12:16) sampai dengan pemuda seperti Absalom yang memberontak terhadap kerajaan ayahnya (2 Sam 14:21; 18:5). Disamping itu kata ini juga dipakai untuk hamba, pejabat atau tentara.
Pemakaian kata sifat “kecil” bersama anak disini tidak harus berarti bahwa mereka memang anak kecil sebab istilah yang sama dikenakan kepada Salomo setelah dia mulai memerintah pada waktu dia berusia kurang lebih dua puluh tahun (1 Raj. 3:7). Istilah yang persis sama dipakai untuk Hadad (1 Raj.11:17) waktu dia melarikan diri dari Israel dan menikahi putri Firaun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud anak-anak kecil ialah anak laki-laki yang relatif muda tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang belum tahu apa yang mereka ucapkan.
“Botak…botak (ay.23)”
Rambut yang bertumbuh dengan kuat dikagumi pada masa Perjanjian Lama (2 Sam 14:26), dan menurut pandangan Yahudi, rambut yang kuat adalah symbol kuasa dan wibawa bahkan wibawa ilahi. Sebaliknya kebotakan tidak disenangi antara lain karena barangkali sering dikaitkan dengan penyakit kusta (Im. 13:40-44) dan pada waktu itu orang sakit kusta harus diasingkan dari masyarakat, karena bahaya penularan penyakit tersebut. Tentu Elisa tidak sakit kusta, tetapi bisa jadi ada pemikiran seperti ini di balik cemoohan anak-anak muda itu. Kebotakan Elisa rupanya bukan karena sudah tua, sebab sebelum peristiwa itu ia baru saja diangkat sebagai pengganti Elia (2 Raj. 2:9-) dan sesudah itu Elisa masih melayani selama kurang lebih 60 tahun (2 Raj. 13:14). Dengan kata lain ia bukan orang tua yang karena lanjut usianya sudah tidak bias lagi sabar dengan anak-anak kecil. Elisa masih cukup muda, ada yang memperkirakan umurnya pada waktu peristiwa di Betel sekitar 25 tahun.

“Dikutuknya mereka dalam nama Tuhan (ay. 24)”
Perhatikan bahwa Elisa sendiri tidak menyebutkan apa-apa tentang beruang-berakibat ada dua ekor beruang yang datang menyerang remaja-remaja ini, itu berarti bahwa Allah sendiri yang bertindak untuk menghukum mereka. Kedatangan kedua ekor beruang merupakan pelaksanaan hukuman peringatan tahap ketiga yang telah dinubuatkan akan terjadi kalau umat Israel tetap melawan TUHAN (Im. 26:21-22).
Akhirnya dalam perikof ini kita tidak berhadapan dengan seorang hamba Tuhan yang tersinggung karena merasa kurang dihormati oleh anak-anak yang nakal, sehingga dia langsung meminta hukuman Allah menimpa mereka. Akan tetapi dalam ayat-ayat ini kita bertemu dengan tindakan Allah yang kudus yang tidak membiarkan diri-Nya dan firman-Nya dipermainkan oleh manusia yang merasa dapat terus melawan dia tanpa ada akibat apa-apa.


Permohonan pembalasan dalam kitab Mazmur
Khususnya dalam kitab Mazmur terdapat beberapa bagian di mana pemazmur seolah-olah melampiaskan rasa bencinya terhadap musuh-musuhnya. Apakah sikap seperti ini dibenarkan Allah dan mengapa diberi tempat di Alkitab?
a. Beberapa contoh permohonan pembalasan dalam kitab Mazmur
Mazmur 5:11; 10:15; 58:7-9; 69:23-26, 28-29; 137:8-9; 137:8-9
b. Pendekatan yang tidak memadai
1. Daud mempunyai emosi seperti manusia biasa
2. Menurut ukuran Perjanjian Baru Daud memang berdosa, tetapi pada masa perjanjian Lama hal itu dapat dimengerti. Perjanjian Lama melarang untuk membalas dendam sebab pembalasan dendam harus diserahkan kepada TUHAN (Im. 19:18; Kel. 23:4-5).
c. Pemecahan secara Alkitab
1. Daud tidak berbicara sebagai pribadi melainkan sebagai raja
sebagai pribadi Daud dapat mengampuni dan ia sudah membuktikan hal itu terhadap Saul. Tetapi sebagai raja dan hakim ia harus mempunyai sikap yang tegas terhadap orang yang meronggrong kewibawaan hukum (Ams. 25:5; Maz. 35:12-14).
2. Permohonan pembalasan ini merupakan ungkapan kerinduan orang kudus agar keadilan Allah ditegakkkan. Pada masa perjanjian Lama penyataan tentang tahta pengadilan Allah yang akan menegakkan keadilan secara sempurna untuk semua orang belum begitu jelas.
3. Daud berbicara atas nama Allah sendiri
Karena Daud sendiri pejabat yang diurapi Allah maka barangsiapa yang melawan Daud, melawan TUHAN yang telah menetapkannya.
4. Permohonan pembalasan merupakan ekspresi rasa benci akan dosa.
Musuh-musuh yang dicela dalam Mazmur tidak hanya melawan Daud dan Allah melainkan mereka adalah personifikasi kejahatan (Maz. 101:5, 7-8; 139:21, 22, 23, 24)

”Identitas Baru Di Dalam Kristus” (Efesus 2: 8-9)

Seorang narapidana (terhukum) terkejut saat tahu raja memberikan pembebasan kepadanya. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Semua, terasa bagaikan sebuah mimpi. Bagaimana mungkin dia yang seharusnya mengalami siksaan, mendekam di teruji besi (penjara), bahkan mati akibat kesalahannya, diberi kesempatan hidup oleh raja.
Hal yang sama, sebenarnya juga dialami oleh orang percaya. Pelanggaran-pelanggaran kita yang tak terukur seharusnya membawa kita pada kematian (Rom. 6:23), namun raja ”yang mulia” yakni Kristus telah membayar lunas dengan harga yang mahal untuk semua kesalahan kita. Bahkan hal terindah bagi kita ketika Ia mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya yang kekasih, menjadi ahli waris kerajaan-Nya.
Ketika kita diselamatkan dan berubah menjadi anak-anak Allah, sesungguhnya kita menyandang/memiliki identitas baru di dalam Dia. Bahkan Alkitab tegas berkata ”sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman: itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah (ay. 8).” Kita mendapatkan semuanya itu, bukan karena kebaikan atau sikap hidup kita melainkan kasih karunia-Nya.
Berbahagialah kita yang telah dipilih, diselamatkan, diangkat menjadi anak-anak-Nya bahkan diberi identitas baru di dalam Dia. Tidak ada orang yang dapat mengubah bahkan merebut identitas baru kita di dalam Kristus. Jangan pernah sia-siakan identitas baru kita yang kita miliki di dalam Dia, karena inilah yang menghidupkan kita dari kematian kekal.

Pokok Renungan:
• Semua orang pada dasarnya adalah bersalah dimata TUHAN dan seharusnya menerima hukuman
• Dalam kasih karunia-Nya kita diberikan identitas baru yakni mereka yang percaya kepada-Nya
• Identitas baru sebagai anak Allah kita dapat bukan karena perbuatan baik atau usaha kita melainkan pemberian Allah
Pertanyaan Renungan:
• Apakah anda merasa bahwa anda layak menerima identitas baru sebagai ”anak-anak Allah” di dalam Kristus? Apa yang membuat anda merasa layak? Dan apa pula yang membuat anda merasa tidak layak?
• Sudahkah anda merasa memiliki identitas baru sebagai ”anak-anak Allah” di dalam Kristus?

Doa:
Bapa, aku bukanlah orang yang layak untuk Kau jadikan anak-Mu, namun Kau telah melayakkanku karena kasih karunia-MU. Aku malu dengan hidupku, masa laluku dan dosaku dan aku mau berubah. Aku mau hidup dan menerima identitas baru yang Kau berikan. Terimakasih untuk kasih-Mu Bapa. Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin.

MEMAHAMI TUGAS DAN FUNGSI GURU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN MENURUT AJARAN ALKITAB* (Studi Teologis tentang Tugas dan Fungsi Guru PAK)

Pendahuluan
Judul makalah ini adalah ”Memahami Tugas dan Fungsi Guru Pendidikan Agama Kristen Menurut Ajaran Alkitab (Studi Teologis tentang Tugas dan Fungsi Guru PAK).” Pembahasan dalam makalah ini bersifat Teologis-praktis, diawali dengan memaparkan secara singkat pandangan tokoh-tokoh Gereja berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen. Diharapkan hal ini memberikan gambaran konkrit akan krusialitas Pendidikan Agama Kristen dalam perkembangan Gereja terdahulu dan meyakininya ~ memiliki kontribusi positif bagi perkembangan Gereja/pendidik masa kini. Dilanjutkan dengan menguraikan pandangan Alkitab terhadap Pendidikan Agama yang diruntut mulai dari sejarah Bangsa Israel (PL), dalam Perjanjian Baru (Yesus Sang Guru Agung), yang akhirnya secara praktis menjadi sebuah pemahaman akan tugas dan fungsi Guru PAK masa kini.

Pengertian Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Istilah Pendidikan Agama Kristen (PAK) sebenarnya berasal dari Bahasa Inggris Christian Education. Sengaja diterjemahkan demikian, bukan harafiah ”Pendidikan Kristen,” karena pengertiannya yang agak berbeda. Istilah Pendidikan Kristen dalam Bahasa Indonesia menunjuk pada pengajaran biasa tetapi diberikan dalam nuansa Kristen; juga dapat berarti Sekolah-sekolah yang dijalankan oleh Gereja atau organisasi/Yayasan Kristen. Istilah Pendidikan Agama Kristen (PAK) dibedakan dengan istilah Pendidikan Kristen karena PAK merupakan pendidikan yang berporos pada pribadi Tuhan Yesus Kristus dan Alkitab sebagai dasar atau acuanya.
Menurut Agustinus PAK adalah pendidikan dengan tujuan supaya orang ”melihat Allah” dan ”kehidupan bahagia” dengan cara para pelajar sudah diajar secara lengkap dari ayat pertama Kitab Kejadian ”pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” sampai ”arti penciptaan itu pada masa Gereja sekarang ini.” Pelajaran Alkitab difokuskan pada perbuatan hebat Allah.
Sedangkan Marthen Luther mengemukakan bahwa PAK adalah pendidikan dengan melibatkan semua warga Jemaat dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Tuhan yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis (Alkitab) dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mampu melayani sesamanya termasuk Masyarakat dan Negara serta mengambil bagian secara bertanggung jawab dalam persekutuan Kristen.
Calvin mengemukakan bahwa PAK adalah pendidikan yang bertujuan mendidik putra-putri Gereja agar mereka, (1) dilibatkan dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dibimbing oleh Roh Kudus; (2) diajar mengambil bagian dalam kebaktian serta mencari keesaan Gereja; dan (3) diperlengkapi memilih cara-cara menge-jawantahkan pengabdian diri kepada Allah Bapa Yesus Kristus dalam gelanggang pekerjaan sehari-hari serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah demi kemuliaan-Nya sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.
Sedangkan menurut Werner, ia mengemukakan bahwa PAK adalah proses pengajaran dan pembelajaran yang berdasarkan pada Alkitab, berpusatkan pada Kristus, yang bergantung pada kuasa Roh Kudus, yang berusaha membimbing pribadi-pribadi pada semua tingkat pertumbuhan, melalui cara-cara pengajaran masa kini kearah pengenalan dan pengalaman tentang rencana dan kehendak Allah melalui Kristus di dalam setiap aspek hidup.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Kristen yang Alkitabiah harus mendasarkan diri pada Alkitab sebagai Firman Allah dan menjadikan Kristus sebagai pusat beritanya dan harus bermuara pada hasilnya yaitu murid dewasa. Alkitab sebagai sumber pengajaran PAK harus diyakini sebagai Firman Allah tanpa salah karena diwahyukan oleh Roh Kudus. Itulah sebabnya para pengajar dan pelajar PAK memerlukan penerangan oleh Roh Kudus.

Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama
Kepedulian Perjanjian Lama terhadap Pendidikan Agama sangat nyata. Dalam Ulangan 6:4-9, disana sasaran dan pola Pendidikan Agama ditujukan. Ditegaskan bahwa umat Allah berkewajiban untuk mewariskan kebenaran ilahi itu kepada generasi penerusnya. Tanggung jawab tersebut harus dilakukan dengan kegigihan dan dengan tidak mengenal lelah. Juga, dengan memanfaatkan segala peluang dan sarana yang tersedia secara maksimal.
Dari ayat-ayat ini ketekunan dalam melaksanakan tugas adalah penting dan nyata sekali ”berulang-ulang” (ay. 7). Menyatunya orang percaya dalam panggilan tugas (mengajar dan mendidik) adalah mencerminkan hubungan pribadi dengan Pencipta-Nya. Ketekunan dalam pengajaran kebenaran Firman harus mencerminkan kadar kasih orang percaya kepada Allahnya (ay. 5). Selain itu, seluruh aktifitas Pendidikan Agama harus dilaksanakan dalam kesadaran akan kehadiran Pribadi Allah sendiri (ay. 4). Hal ini dimaksudkan untuk menyadarkan pentingnya ketergantungan kepada-Nya (pengajaran dan pengelolaan) dan juga mengingatkan bahwa tujuan akhir seluruh kegiatan adalah terletak disana ~ kehadiran Allah.
Jelas sekali bahwa Perjanjian Lama memandang Pendidikan Agama lebih dari suatu kegiatan yang berurusan dengan soal penggarapan akal. Bidang garapan Pendidikan Agama menjamah dimensi yang lebih luas dan diarahkan pada perubahan sikap, dan khususnya perubahan hidup para peserta didik. Dengan kata lain, Perjanjian Lama tidak melihat Pendidikan Agama sebagai usaha penyaluran ilmu, tetapi suatu proses pengubahan hidup. Penguasaan pengetahuan hanyalah batu loncatan untuk menghasilkan perubahan hidup.

a. Isi Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama
Umat Yahudi pada umumnya dan setiap keluarga pada khususnya ditugaskan untuk menyampaikan kekayaan iman tentang bangsa pilihan Allah ini kepada generasi baru. Pusat Pendidikan Agama adalah Keluarga, terutama sang Ayah yang bertanggung jawab dalam Pendidikan Agama kepada keluarganya, seperti dinyatakan dalam kitab Ulangan 6:4-9.
Pengajaran Agama dalam PL berpusat pada Hukum Allah dan Korban melalui sistem imamat. Allah telah memberikan Sepuluh Hukum kepada umat Israel (Kel. 20:1-17) dan perintahkan untuk mengasihi Allah (Ul.6:4-9). Selain itu, juga adanya peraturan-peraturan yang mengatur tata ibadah dan hubungan sosial. Umat Israel harus melaksanakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang telah diberikan kepada mereka. Namun hukum-hukum tersebut hanya sasaran antara pengajaran tentang Korban.
Jadi sesungguhnya Perjanjian Lama secara orisinil mengajar kepada umat Allah untuk bersandar pada tahta anugerah Allah melalui sistem Korban. Melalui hukum-hukum yang diberikan Allah, umat Allah dibawa pada kesadaran bahwa diri mereka adalah orang berdosa yang memerlukan anugerah dan pengampunan dari Allah Juruselamatnya.

b. Pengajar Pendidikan Agama dalam PL
Allah sendiri sebagai pemrakarsa dan pengajar utama Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama (Hos.11:1-4). Dalam mengajar umat-Nya, Allah sering menggunakan empat golongan Pemimpin orang Israel, yakni: Para Imam (Bil. 3), Para Nabi (Yunus, Mikha, dsb), Kaum Bijaksana (Ams. 1-2, 6:1), dan Kaum Penyair (Mazmur). Disamping mereka, dalam mengajar kepada setiap keluarga dijalankan oleh Kepala Keluarga yaitu Suami dan Istri atau orang tua dari anak-anak. Anak laki-laki orang Yahudi juga mendapatkan pendidikan formal dalam sekolah Yahudi. Sedangkan anak-anak perempuan mendapatkan pengajaran dari Ayah mereka.

c. Metode Penyampaian Pendidikan Agama dalam PL
Tangung jawab yang berat sebagai ”bangsa pilihan” dalam mengajarkan Pendidikan Agama, orang Israel dituntut untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan. Perintah ini harus diajarkan berulang-ulang dari generasi ke generasi dan ini menjadi tanggung jawab sang Ayah untuk mengajarkannya kepada anak-anaknya.
Metode pengajaran yang digunakan antar lain adalah: metode menghafal (Ul. 6:4-9; Ams. 22:6;Maz.119:11,105), membagikan cerita kepada kaum muda tentang peristiwa-peristiwa bermakna (Yos.4:6-7;bnd Kel.12:24-27). Bahkan sekolah-sekolah formal Yahudi juga menggunakan metode hafalan. Anak laki-laki ketika berumur 6 tahun, mereka mempelajari huruf-huruf Ibrani. Setelah itu mereka melanjutkan sekolah di Beth Talmud untuk mempelajari Taurat Lisan yang terdiri dari Misyna, Talmud dan Haggadah. Mereka yang lulus di Beth Talmud inilah yang nantinya menjadi guru-guru disekolah-sekolah Yahudi tingkat Dasar. Mula-mula mereka harus menghafal 22 abjad Ibrani, kemudian menghafal kata-kata. Hal ini penting mengingat mula-mula bahasa Ibrani tidak mengenal huruf vokal. Dengan tradisi menghafal inilah kemurnian PL terjaga setelah bahasa Ibrani dibubuhkan vokal dalam tulisannya.

Pendidikan Agama dalam Perjanjian Baru
Penekanan terhadap keutamaan Pendidikan Agama juga menjiwai seluruh Perjanjian Baru. Tekanan ini terlihat jelas dalam diri dan pelayanan Yesus. Hidup dan pelayanan Yesus menjadi landasan Pendidikan Kristen. Salah satu gelar penting yang dikenakan kepada-Nya adalah ”Rabbi” (Mat. 26:25, 49; Mark. 9:5, dll).
Sebagai Guru Agung, Ia memulai pelayanan-Nya dengan mencari pribadi-pribadi yang akan didik menjadi murid-Nya (Yakobus, Yohanes, Petrus Andreas, dll). Yang ditemukan-Nya bukanlah orang yang hebat dan luar biasa, tetapi orang biasa yang penuh kekurangan dan kelemahan ~ yang lebih mengagetkan lagi yang namanya Yudas Iskariot (Luk.6:16).
Meskipun demikian, kehebatan Yesus sebagai Guru Agung justru terletak disini. Ia mampu melihat apa yang tidak diamati orang lain. Oleh sentuhan-Nya, orang-orang biasa yang tidak diperhitungkan dunia telah diperlengkapi-Nya, sehingga mampu bertindak untuk menghasilkan perkara-perkara yang teramat mengagumkan bagi siapa saja.
Kehebatan Yesus sebagai Guru/pendidik juga ditunjukkan melalui cara kerja-Nya. Kreatifitas dalam pelaksanaan tugas ditunjukkan. Ia telah menggunakan teknik pengajaran yang sangat bervariasi: ceramah, tanya jawab, lukisan, cerita, bahkan model pelatihan. Sisi lain dari Yesus sebagi Pendidik, terlihat juga dalam kecakapan-Nya menggarap konsep-konsep yang abstrak (Sorga, Neraka, Dosa, Pengampunan, Kerajaan Allah, kebenaran, keadilan, dst). Namun demikian, Yesus tidak pernah mengijinkan pengajaran mengenai masalah yang abstrak ini menjerumuskan-Nya kedalam diskusi yang bersifat spekulatif. Sebaliknya, persoalan yang abstrak tersebut justru dikaitkan dengan semua permasalahan praktis sehingga menjamah pergumulan hidup sehari-hari.
Dari semua ini, bagi-Nya pengajaran bukanlah soal penajaman penalaran belaka tetapi proses pemahaman yang harus menuntun kepada perubahan hidup. Keberhasilan pengajaran adalah menghasilkan hidup yang semakin berkenan kepada Allah.

Relevansi Teologis-Praktis bagi Guru Pendidikan Agama Kristen Masa Kini
dalam Memahami Tugas dan Fungsinya
Dalam memahami tugas dan fungsi Guru Pendidikan Agama Kristen masa kini ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, antara lain; Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan bahwa kata ”Tugas” berarti, sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yang dibebankan. Sedangkan kata ”Fungsi” berarti; jabatan (pekerjaan) yang dilakukan. Disamping itu, kata Guru, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dari definisi ini ada beberapa hal penting dalam memahami tugas dan fungsi Guru Pendidikan Agama Kristen, antara lain;
1. Motivasi dalam Mengajar: Berbicara tentang Guru berarti itu adalah sebuah Profesi. Profesi sering dikaitkan dengan hak. Apa yang menjadi motivasi anda mengajar? Panggilan atau karena terpaksa. Karena ingin memberikan sesuatu dari profesi atau menginginkan sesuatu dari profesi? Buang muatan-muatan yang tidak baik dalam diri kita (pikiran, nilai-nilai, kecurangan, dll) yang membebani kita dalam menghidupi tugas dan fungsi kita sebagai Guru.
2. Metode Yang Digunakan dalam Mengajar: Belajarlah dari Yesus Sang Guru Agung, yang kreatif menggunakan metode dalam mengajar (memenangkan perhatian, menggunakan pertanyaan, menggunakan ilustrasi, menggunakan ceramah, menggunakan model, Malcom S. Knowles= sistem pedagogi vs andragogi). Seorang pengajar haruslah memilih metode yang paling tepat untuk memperoleh perhatian dan mempertahankan minat dari murid. Setiap metode yang digunakan pengajar harus dapat membangkitkan perhatian kepada para murid untuk mendengar, melihat, mengatakan dan mengerjakan apa yang diajarkan kepada mereka. (Lihat, Ajarlah Mereka Melakukan, peny., Dr. Andar Ismail (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1999), 98.
3. Manfaat yang diperoleh dalam Mengajar: Di dalam setiap hak terdapat kewajiban. Semakin besar haknya, semakin berat pula tanggung jawab yang terkait di dalamnya. Temukan manfaat di dalam setiap tanggung jawab anda. Meskipun keadaan dimana anda mengajar keruh, jangan mau pikiran anda, tanggung jawab anda ikut keruh. Jangan hanya menuntut hak tetapi kewajiban dilupakan. Terlalu banyak orang yang terdiam terhadap kewajiban dan bersuara jika hak didiamkan.


Penutup
Beban dan tanggung jawab sebagai pengajar sangatlah besar. Namun kita harus belajar bersyukur. Sebab Tuhan yang memberi mandat untuk tugas ini dan Ia berjanji ”Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman (Mat.28:20).” Kita juga harus pahami bahwa Tuhan tidak pernah menuntun kita kepada kesulitan yang mustahil untuk dipecahkan. Masalah, kesulitan dan tantangan pasti ada dalam menjalankan tanggung jawab. Karena itu pahamilah bahwa Allah butuh anda untuk membawa perubahan anak didik menjadi pribadi-pribadi yang mengalami perubahan hidup. Masa depan anak didik, lembaga/Sekolah juga bagian dari pergumulan anda.



Disampaikan dalam acara Seminar Guru-Guru Agama Kristen se Kab. Mimika, di Aula Departemen Agama Kristen, Kab. Mimika-Papua.

Bibliografi:
1. Enklaar, E.G. Homrighausen. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Mulia, 1982.
2. Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan dan Praktek PAK dari Plato sampai Ig. Loyola, cetakan 3. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994.
3. Graendorf, Werner C. Introduction to Biblical Christian Education. Chicago: Moody Press, 1988.
4. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,”Tugas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
5. Kadarmanto, Ruth. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
6. Sidjabat, B.S. Teori Belajar Aktif dalam Pembelajaran PAK dalam Situs Blogger STT Tiranus.

”BELAJAR HIDUP DITENGAH KESULITAN HIDUP” (Kel. 2:1-10)

Pendahuluan
Kelahiran berarti kehidupan. Namun kenyataannya, kelahiran tidak hanya membawa kehidupan tetapi justru menjadi hal yang menakutkan bagi banyak orang karena tak jarang kelahiran justru berujung kematian. Dalam menyambut kelahiran, biasanya disertai dengan banyak persiapan. Orang tua biasanya mengharapkan kelahiran anaknya dengan keadaan yang lebih baik, kecukupan dan serba ada. Tetapi tidak demikian halnya dengan kelahiran Musa. Ia diperhadapkan dengan ancaman antara hidup dan mati. Ditengah kelahirannya, Ibunya yang bernama Yokhebet berusaha menyelamatkan dia karena ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Raja Firaun karena alasan politik. Mari kita belajar dari Yokhebet yang dengan gigih, tidak putus asa dengan kesulitan hidup yang dia hadapi. Tetap berjuang meski keadaan hidup sulit bahkan jauh dari apa yang di pikirkan sebelumnya.

Pertama, Hidup itu lebih berharga dari apapun (ay. 2-3)
Meski keadaan sulit tetapi Yokhebet bertahan bahkan ia berusaha menyelamatkan anaknya. Dalam ayat 3 dan 4, tindakan penyelamatan Yokhebet nampak nyata, terlihat dalam hal ”menyembunyikan,” ”diambilnya sebuah peti,” dipangkalnya,” diletakkannya bayi itu” (ay. 2-3). Dia tahu betul bahwa hidup anaknya lebih penting dari apapun. Yokhebet tidak pernah berpikir sebelumnya kalau ternyata penyelamatan anaknya (Musa) olehnya membawa dampak yang luar biasa. Musa dipakai Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di tanah Mesir. Mari para orang tua selamatkan anak-anak anda dari ancaman saat ini (pergaulan bebas, kemabukan, HIV/AIDS, dll).

Kedua, Hidup itu indah jika dikelilingi keindahan(ay. 4-6)
Keadaan Yokhebet sendiri sebenarnya terancam. Tetapi kembali ia tidak mau terfokus untuk mementingkan diri sendiri. Dia menyadari bahwa anaknya ádalah segalanya buat dia. Anaknya itulah yang menjadi keindahan disaat masa-masa yang sulit. Meskipun dia terpisah dengan anaknya, tidak menjadi soal bagi Yokebet yang terpenting ádalah keselamatan nyawa anaknya. Dalam hidup ini, mungkin banyak kesulitan, tantangan yang bahkan berujung pada kehilangan. Namun sadarilah bahwa hidup ini indah jika dikelilingi oleh keindahan. Adakah keindahan di sekelilingmu? yang terus menjadi motivasimu/semangatmu untuk berkarya/ menjalani hidup ini? Untuk terus bekerja meski hati tersiksa. Terus semangat melayani meski ada banyak orang yang mencoba menjatuhkan anda. Jangan kehilangan keindahan dari hidup ini. Keindahan anda dalam keluarga mungkin anak anda. Keindahan anda sebagai hamba Tuhan mungkin pelayanan anda. Tetapi jauh yang lebih pasti adalah Yesus, keindahan diatas keindahan kita.

Ketiga, Hidup itu harus menggunakan kesempatan (ay. 7-10)
Bagi Yokhebet bisa saja ia berfikir ini adalah kesempatan terakhir bagi dia untuk menyelamatkan anaknya. Masa depan anaknya jauh lebih luas dibanding dengan hidupnya sehingga ia membiarkan dirinya ada dalam situasi terancam maut. Hidup harus menggunakan kesempatan. Yang pasti dalam hal ini adalah kesempatan untuk hidup. Banyak yang menyia-nyiakan kesempatan hidup. Kesempatan untuk menjadi produktif bagi orang lain: menyenangkan bahkan menguntungkan bagi orang lain. Membiarkan hidup hanya berjalan apa adanya tanpa ada sesuatu yang dikerjakan. Hidup ini indah jika ada yang di harapkan dan dikerjakan. Apa yang ada kerjakan dalam hidup ini? Dan, apa yang anda harapkan?

”MENIKMATI HIDUP SAAT INI” (Maz. 34:13-15)

Banyak orang dimanjakan dengan impian. Apalagi tak jarang impian selalu dikaitkan dengan salah satu jalan menuju keberhasilan hidup. Namun, berapa banyak orang yang tidak menyadari bahwa kesuksesan bukan terletak pada seringnya orang bermimpi. Tetapi keyakinan untuk menangkap, mengimani dan bekerja keras mengejar impian itulah yang penting.
Tuhan tidak pernah mengajarkan kepada kita orang percaya untuk menjadi manja dengan tanpa berusaha dalam meraih kesuksesan hidup. Sama halnya dalam menikmati hidup ini, perlu sebuah usaha. Karena banyak orang yang tidak menyukai hidup, tidak mengingini umur panjang dan menikmati hal yang baik (ay. 13).

Pertama, hidup harus bijaksana dalam menggunakan perkataan
Sebagai orang percaya kita harus berkata benar: ditempat satu berkata benar ditempat lain juga sama. Disamping itu, belajarlah untuk memperkatakan/menyinggung kebenaran karena banyak anak Tuhan takut dalam memperkatakan kebenaran.
Tidak hanya itu, banyak juga hamba Tuhan yang terlalu diam dan segan memperkatakan kebenaran. Gereja menjadi sarang kemunafikan - dipenuhi orang-orang yang diam dengan membiarkan kemerosotan moral terjadi. Kalau bukan dari mimbar jemaat akan dengar kebenaran dari mana?

Kedua, hidup harus menjauhkan diri dari yang jahat dan melakukan yang baik
Hidup harus seimbang: menjauhkan diri dari yang jahat tetapi juga melakukan yang baik. Baik dan jahat seperti dua sisi mata uang. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Dosa adalah ketika kita melakukan yang jahat dan juga ketika tahu yang benar tetapi tidak melakukannya. Kegagalan melakukan hal yang baik berarti ketidakmampuan menerapkan kebenaran-Nya.

Ketiga, hidup harus dalam perdamaian
Berdamai dengan Allah. Berdamai dengan
diri sendiri. Berdamai dengan sesama. Banyak orang yang gampang cari musuh. Oleh karena itu sebagai orang percaya belajarlah untuk hidup dalam perdamaian. Maka seperti firman Tuhan anda akan menikmati hal yang baik dari hidup ini.

”Menjadi Kuat Di Dalam Dia” (Efesus 6: 10-20)

Ada banyak cara dilakukan manusia agar menjadi kuat. Mereka rela berkorban baik waktu, tenaga maupun uang. Semua dilakukan demi mendapatkan tubuh yang kuat. Namun sayang, pengejaran mereka terhadap pribadi yang kuat hanya sebatas kuat secara fisik dan bukan secara rohani.
Hal ini jelas berbeda dengan Alkitab yang menawarkan menjadi kuat secara rohani dengan cara yang tepat dan patut ditiru. Alkitab menjelaskan bahwa menjadi kuat itu pasti apabila di dalam Tuhan dan oleh kekuatan kuasa-Nya
(ay. 1). Pertanyaannya adalah bagaimana menjadi kuat di dalam Tuhan?

Pertama, mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah (ay. 11-17). Hal ini patut dicermati ”seluruh” dan bukan ”sebagian” dari perlengkapan senjata Allah. Tujuannya adalah supaya dapat bertahan terhadap tipu muslihat iblis (ay 11), karena adanya musuh yang harus kita lawan (ay. 12), dan tetap dapat berdiri saat melawan Iblis (ay. 13). Ingat, jangan lalai dalam mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah.

Kedua, tetap tekun di dalam doa (ay. 18). Alkitab meminta dengan tegas agar kita sebagai orang percaya berdoa ”setiap waktu” di dalam Roh dan terus berjaga-jaga. Sebagai orang percaya jangan pernah lengah dalam menilai situasi. Tetap waspada dan hati-hati dalam hidup ini karena Iblis berusaha membuat anda lengah, tidak sampai pada kehendak-Nya dan akhirnya membawa anda pada pilihan untuk berbuat dosa. Berapa banyak suami/istri tidak hati-hati/waspada akhirnya terjerumus dalam perselingkuhan/perzinahan. Tahukah anda, karena tidak waspada banyak anak-anak/pemuda terlibat minuman keras, pergaulan bebas bahkan hidup bersama tanpa ikatan nikah.

”MENGUKIR SEJARAH DARI SETIAP MASALAH” (Yoh. 2:1-11)

Pendahuluan
Perjalanan hidup memang tidak selalu indah. Terkadang kesukaran, kegagalan, kepahitan, kehancuran, kehilangan bahkan kematian datang tak terduga, melepaskan semua harapan atas apa yang direncanakan. Akibatnya, kekecewaan terhadap hidup serta penyempitan makna bahwa sesungguhnya hidup adalah sebuah ”proses” menjadi tidak menarik, omong kosong bahkan mati.
Parahnya lagi, jika hal ini berdampak pada penilaian serta pemahaman bahwa Sang Pemberi hidup juga tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang dialami. Ia ada (teisme) sebagai Pencipta segala-galanya, tetapi kehadiran-Nya jauh meninggalkan ciptaan-Nya (deisme). Mereka mulai diselimuti tebalnya keraguan, dalamnya kubangan kekecewaan terhadap kepercayaan bahkan sempitnya pemahaman bahwa Allah hadir tetapi intervensi-Nya ternoda.

Tiga langkah mengukir sejarah dari setiap masalah
Semua orang pasti memiliki harapan. Tetapi sering harapan/keinginan yang ada; disusun dengan rapi, direncanakan dengan matang ketika dilapangan hasilnya beda. Kondisi yang sama juga dialami oleh satu keluarga di Khana yang bermaksud untuk menikah. Semua sudah direncanakan, dipikirkan, ditata dengan rapi bahkan digumulkan tetapi ketika dilapangan hasilnya berbeda. Mereka justru kekurangan angur. Apa kata orang? Namun, ditengah-tengah situasi seperti itu; ditengah bayang-bayang kehancuran Yesus menolong. Mereka mampu mengukir sejarah ”perkawinan” mereka sendiri. Saat masalah datang, bayang-bayang kehancuran yang tak terelakkan menerpa, mereka mampu mengukir sejarah. Pertanyaannya, bagaimana kita mengukir sejarah dari setiap masalah yang kita alami?

Pertama, Kuat di dalam Iman (ay. 3-5).
Dalam ayat 3, dikatakan bahwa Maria ”berkata” kepada Yesus. Ketika Maria berkata kepada Yesus ia tidak hanya sekedar berkata, tetapi di dalamnya ada unsur mengharapkan yang sifatnya sungguh-sungguh/serius. Hal ini diperjelas dengan perkataan Maria dalam ayat dua ”kehabisan anggur.” Berbeda dengan versi Yohanes yang mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka bukan ”kehabisan” hanya ”kekurangan.” Dalam hal ini, Maria melihat dari sisi akhir sebuah kejadian dan berbeda dengan Yohanes yang melihat dari sisi pemulaian (Yunani, aoris).
Maria begitu menekankan bahwa keadaan sangat genting dan hanya Yesus yang sanggup menolong. Apalah artinya kekurangan anggur (pemulaian/aoris) toh pada akhirnya juga akan kehabisan (pencapaian/akhir). Dalam hal ini, Maria mengharapkan kuasa Yesus/keilahian Yesus dinyatakan. Saya melihat ada dua ciri orang yang kuat di dalam iman.
Pertama, sikap positif ketika menghadapi masalah. Untuk sampai di Khana diperlukan waktu yang panjang. Mereka harus berjalan kaki untuk sampai di Khana. Dalam beberapa terjemahan makna Khana kurang begitu jelas tetapi dalam bahasa Jawa dikatakan bahwa Khana adalah sebuah desa. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk sampai di Khana. Ketika sampai bukannya disuguhi minuman tetapi justru harus ikut merasakan masalah ”kekurangan anggur.” Dalam kondisi itu, bisa saja Maria emosi. Menyalahkan keadaan. Mempertanyakan tanggung jawab. Meninggalkan bahkan kecewa. Tetapi Maria tidak melakukan semuanya itu.
Kedua, memandang Yesus. Dari segi sosial, sangat tidak wajar apabila Maria justru datang dan meminta bantuan kepada Yesus (Anaknya). Apalagi secara potensial, Maria belum pernah melihat mujizat yang dilakukan Yesus sebelumnya karena ini adalah mujizat pertama-Nya. Butuh anggur seharusnya Maria datang kepada orang yang punya atau ahli membuat anggur. Menarik disini, mungkin keadaan membuat kita sakit, kecewa, terluka, menangis, menjerit bahkan memberontak menggeliat tetapi satu hal yang pasti adalah engkau harus menghadapi kondisi itu. Orang boleh menyakiti, keadaan boleh memperlambat langkah anda tetapi ingat identitasmu. Tugas kita adalah mendoakan.

Kedua, kuat dalam kemauan (ay. 7)
Pernikahan adalah upacara keagamaan yang sifatnya sakral sehingga semuanya pun memerlukan persiapan baik materi maupun spiritual. Demikian juga tradisi di Israel, pernikahan menjadi hal penting dan terukir seumur hidup. Kalau ada hal-hal yang memalukan seperti kehabisan anggur, tuan rumah pasti malu bahkan semua orang termasuk pelayan akan merasa malu. Sebaliknya, ketika semua berjalan baik sesuai rencana maka akan menimbulkan sukacita terdalam. Oleh karena itu, ketika pelayan-pelayan tahu masalah yang dihadapi tuan rumah, maka mereka juga ikut mencari solusi. Mereka fokus untuk jalan keluar. Sehingga apa saja yang dikatakan Yesus mereka melakukannya karena kemauan mereka kuat yakni masalah ini harus selesai dan ada jalan keluar terbaik.
Orang yang kuat dalam kemauan, ia bertindak dengan sabar. Yang Yesus kehendaki adalah tempayan di isi air sampai penuh. Apabila ada enam tempayan dan setiap tempayan harus di isi masing-masing seratus liter berarti semua genap enam ratus liter. Bisa dibayangkan bagaimana mereka harus bekerja dengan kesabaran melakukan semuanya ini. Dituntut kesabaran hingga tempayan-tempayan tersebut penuh hingga akhirnya dicedok dan dibawa ke para tamu undangan.

Ketiga, Kuat dalam kasih (ay. 11)
Lewat peristiwa mujizat ”air menjadi anggur” ternyata membawa dampak dasyat bagi para murid ”murid-murid percaya kepada-Nya.” Masalah selalu datang tanpa pandang bulu, sekonyong-konyong, tanpa pandang waktu dan tanpa kita undang. Tapi kadang masalah itu datang untuk menyatukan kita. Memperkuat iman kita. Lebih mempererat kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Tidak ada masalah biasanya tidak ada perhatian khusus terhadap sesuatu. Kadang kita merasa cukup aman dengan kondisi kita, tetapi hati-hati justru disitulah Tuhan sebenarnya sedang mengetuk pintu hati kita untuk membangunkan kita dari lelapnya kenyamanan pribadi. Perhatikan Wahyu 3:20 ”mengetuk” – secara konteks justru Tuhan mengetuk bukan kepada orang yang tidak percaya tetapi kepada gereja – orang percaya.
Kita semua punya masalah yang membedakan adalah bagaimana reaksi kita terhadap masalah. Dari kisah ini, kita belajar bahwa apa yang kita harapkan, pikirkan, rencanakan, ditata dengan rapi, digumulkan ketika dilapangan hasilnya sering berbeda. Mungkin saat ini keadaanmu sedang sulit, gagal, menolak tanggung jawab, menyalahkan orang lain saat terjepit. Bahaya besar bagi kita adalah ketika tahu salah tapi tidak mau mengubah. Tahu salah tapi terus tinggal dalam rasa bersalah. Tidak ada gunanya tingga dalam keadaan tersebut dan tinggal dalam kekecewaan berkepanjangan. Milikilah iman yang kuat, kemauan yang kuat dan kasih yang kuat dalam menghadapi masalah anda. Maka, anda akan ciptakan sejarah buat hidup anda sendiri dan orang lain melihat dan belajar dari pengalaman anda yang ”bersejarah.” Selamat mengukir sejarah dari setiap masalah.

MENANG KARENA PENGHARAPAN (Rom. 8:18-39)

Pendahuluan
Sebagai orang percaya, pengharapan kita sangat luar biasa karena menurut Firman Tuhan, kita ádalah “lebih dari pemenang” (Rom. 8:37). Meskipun demikian, banyak anak Tuhan kecil hati - bahkan tidak sedikit yang mundur teratur dalam persekutuan - ketika menilai mutu rohani mereka. Rupanya pertumbuhan rohani mereka macet. Hubungan dengan Tuhan kurang dekat dan intim. Bergumul terus menerus dengan masalah pribadi yang sama bahkan dosa-dosa tertentu (pola dosa). Pada umumnya, mereka frustasi tetapi mereka tidak bisa menemukan jalan keluar dari situasi mereka. Dalam bagian ini kita akan mempelajari baik pengharapan kita (posisi) maupun kenyataan kita (kondisi) sebagai orang percaya.

Pengharapan Kita sebagai Orang Percaya
Nyata sungguh apa yang Alkitab katakan tentang pengharapan kita sebagai orang percaya. Pengharapan yang luar biasa, memberikan tuntutan bagi langkah yang salah, semangat bagi jiwa yang dahaga. Namun, menjadi tidak menarik bahkan membosankan bagi pribadi yang tidak memercayainya karena tidak mengalaminya. Mengapa demikian? Karena sering antara pengharapan (janji-janji) terkadang berbeda dengan realita (kondisi-pengalaman) yang terjadi dalam hidup ini. Oleh karena itu, kita harus melihat seimbang antara pengharapan kita (posisi dan janji) dengan realita kita (kondisi dan pengalaman) yang ada.

A. Menikmati Kekayaan Keselamatan (Ef. 1:3)
1. Kita dipilih (ay. 4): implikasinya kita berharga dan istimewa dimata TUHAN.
2. Kita diangkat menjadi anak-anak-Nya (ay. 5): artinya, kita memiliki otoritas sebagai seorang anak.
3. Kita beroleh penebusan (ay. 7): ditebus dari dosa dan dibebaskan dari maut.
4. Kita diampuni dari dosa (ay. 7): Allah menghapuskan dosa kita hingga tanpa bekas/noda. Implikasi sekarang ini, pahamilah bahwa Dia adalah Allah yang tidak pernah berubah. Dia tetap Allah yang mengampuni dosa, mengasihi, menerima kita tanpa syarat dan tidak pernah menolak kita. Dosa masa lalu kita, kecerobohan kita, kebohongan kita (mungkin makan diwarung tidak bayar/makan pisang goreng lima bayar dua) Tuhan akan ampuni. Minta ampun...Tuhan akan ampuni! Lama-lama minta ampun dosanya!! Ada tidak dosa yang dibenci Tuhan? Pada dasarnya semua dosa dibenci Tuhan.
5. Rahasia kehendak Tuhan dinyatakan (ay. 9): Tidak ada rahasia lagi antara anda dan Allah. Anda bisa tahu kehendak-Nya untuk masa depan anda. Kehendak-Nya lah yang akan menyelamatkan persahabatan anda, pernikahan anda, keuangan anda bahkan keluarga anda. Berjalanlah dengan aman dalam kehendak-Nya.
6. Kita akan memperoleh bagian yang dijanjikan (ay. 11): rebut janji Allah!
7. Kita telah dimeteraikan dengan Roh Kudus (ay. 13): ingat, ada Roh Kudus dalam diri anda. Roh kuduslah yang akan menuntun anda dalam jalannya. Dan, Roh Kudus itu pula yang akan mengingatkan akan dosa anda.

B. Menikmati kemenangan ditengah penderitaan (Rom. 8)
1. Menikmati kemenangan karena penderitaan kita saat ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (ay. 18). Selama didunia kita akan mengalami penderitaan tetapi firman Tuhan selalu menghibur kita. Kita mengalami penderitaan, rasa sakit, kekecewaan, keputusasaan, kehilangan tapi ingat...kemuliaan-Nya. Kita menempati posisi di depan sebagai kepala dan bukan ekor. Kita berhak menikmati kemenangan dan bukan kegagalan. Melahirkan sakit tapi bagi seorang ibu tidak pernah merasa kapok!!!
2. Menikmati kemenangan karena kita memiliki pengharapan pembebasan tubuh kita (ay. 23). Kita akan diubahkan oleh Tuhan.
3. Menikmati kemenangan karena Roh Kudus ”membantu kita dalam kelemahan kita” dengan mendoakan kita ”sesuai kehendak Allah” (ay. 27). Ada saatnya ketika masalah datang sulit bagi kita untuk berdoa tetapi Roh membantu kita berdoa lewat keluhan-keluhan tak terucapkan.
4. Menikmati kemenangan karena Allah turut berkerja (ay 28). Pengalaman kuliah di STII (hidup di asrama), meski semua serba terbatas bahkan kekurangan tetapi penyertaan Tuhan nyata.
5. Menikmati kemenangan karena Allah dipihak kita (ay. 31). Tidak ada yang dapat memisahkan kita. Hamba Tuhan pelayanan pernikahan mau tapi pelayanan kematian takut apalagi ngusir setan. Orang kristen tidak pernah ngusir setan jangan-jangan temannya setan. Ingat bahwa Allah dipihak kita.

C. Menikmati kemenangan karena kita memiliki otoritas (Kol. 2:15)
1. Kristus sudah mengalahkan Iblis ketika dikayu salib
2. Kuasa kerajaan Allah sudah datang dalam pelayanan Yesus ketika Ia mengalahkan Iblis dan mengusir roh-roh jahat (Mat. 12: 28).
Kuasa tersebut di delegasikan kepada murid-murid-Nya, para rasul, gereja mula-mula dan anak-anak-Nya. Itu berarti kuasa tersebut juga didelegasikan kepada generasi sekarang ini dalam amanat agung “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu…”
3. Diberi tempat bersama-sama dengan Kristus di surga.
“Yesus dipangkuan Bapa (Yoh. 1: 18) dan kemudian duduk disebelah kanan (Ibr. 1:3).”

Realita kita sebagai orang percaya
Banyak yang hidup seperti orang yang miskin secara rohani; ada anak Tuhan yang merasa bersalah, bernoda, bahkan kotor dihadapan Tuhan – pokoknya seperti orang Kristen kelas dua. Banyak yang putus asa/mundur ditengah-tengah penderitaan: ada yang mulai percaya bahwa Tuhan tidak memperdulikan mereka karena mereka tidak langsung disembuhkan/ diselamatkan dari penderitaan mereka. Banyak anak Tuhan yang takut menghadapi roh-roh jahat, padahal mereka memiliki otoritas di dalam “nama Yesus.” Banyak yang terbelenggu dalam pola dosa tertentu: ada yang lama terbelenggu dalam dosa tertentu, mereka membenci dosa tersebut tetapi mereka melakukan dan sulit melepaskan diri dari jeratnya.

”Penghalang Mujizat Dalam Hidup Anda” (Mark. 5: 21-43)

Pendahuluan
Markus 5: 21-43 menceritakan tentang Yesus yang membangkitkan anak Yairus yang sudah mati dan menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun lamanya. Di dalam cerita ini ada dua perkara yang tidak mampu dilakukan oleh manusia, tetapi sebaliknya Allah mampu melakukannya. Yang pertama, manusia tidak dapat menyembuhkan perempuan yang mengalami sakit pendarahan. Perkara yang kedua adalah manusia tidak dapat membangkitkan orang yang sudah mati (ayat ke-35). Dalam kisah ini, Yesus bukan saja mampu menyembuhkan perempuan yang sakit, tetapi Ia juga mampu membangkitkan anak yang sudah mati. Manusia tidak mampu, gagal dalam usaha tetapi Yesus tidak.
Dalam hidup ini, banyak dari kita terkadang ragu akan apa yang dapat Tuhan lakukan. Terlalu sering memandang besarnya masalah, kegagalan masa lalu, keterbatasan tanpa mau memandang besarnya kuasa Tuhan. Kita kadang kurang percaya dengan mujizat, hingga akhirnya kita pun tidak pernah mengalami mujizat di dalam hidup kita. Mengapa bisa demikian? Karena ada penghalang-penghalang yang menghalangi kita untuk memercayai dan memperolehnya. Kita terlalu mudah berkata ”hidupku, keadaanku, keluargaku tidak bisa berubah.” Pada bagian firman Tuhan ini, kita akan melihat apa sebenarnya yang menjadi penghalang mujizat itu dan apa yang harus kita perbuat dengan penghalang tersebut?

Pertama, tradisi/adat istiadat
Tradisi yang berlaku saat itu adalah manusia tidak boleh menyembah manusia. Tetapi apa yang dilakukan Yairus sangat menarik ”datanglah seorang kepala rumah ibadat...tersungkurlah ia di depan kaki-Nya.” (ay. 22). Apabila anda mengharapkan mujizat terjadi dalam hidup anda yang perlu anda lakukan adalah menantang arus tradisi dalam hidup, keluarga, nenek moyang bahkan masyarakat setempat. Jangan selalu gunakan pengalaman anda dengan berkata: ”Biasanya kami seperti ini...mengapa sekarang menjadi seperti ini!” Mungkin itu menjadi penghalang mujizat hadir dalam hidup anda. Anda harus berani berkata ”mengapa tidak kita coba!”
Yairus adalah seorang yang terhormat (kepala rumah ibadat) tapi ia mau datang kepada Yesus bahkan lebih lagi ”tersungkur di depan kaki Yesus.” Yairus tidak berkata: ”aku bisa berdoa sendiri untuk kesembuhan anakku...aku kan kepala rumah ibadat.” Yairus melakukan tindakan yang sangat tepat, Ia meminta bantuan Yesus saat ia menyadari ketidakmampuannya. Belajarlah untuk menjadi pribadi yang mudah menerima bantuan. Terlalu banyak orang yang curiga dengan niat baik orang yang baik. Ada banyak orang jatuh miskin, karena takut kelihatan miskin. Banyak yang menderita sakit karena takut kelihatan sakit dan merasa tidak butuh dukungan doa orang lain. Tidak ada orang yang besar yang dulunya tidak pernah menjadi kecil dan perlu bantuan orang lain. Tidak ada orang yang mandiri secara finansial tanpa dulu pernah menunggu untuk digaji orang lain. Sederhananya, saya dan anda butuh bantuan orang lain, terlebih bantuan Yesus.

Kedua, Harta Kekayaan dan Kedudukan
Yairus adalah seorang terhormat (kepala rumah ibadat) apabila ketahuan ia datang dan menyembah Yesus pasti akan kehilangan kedudukannya. Dengan menyembah Yesus berarti kedudukannya terancam dan bisa dicabut, padahal untuk mencapai posisi tersebut tidaklah mudah. Tetapi ia tidak peduli. Untuk kesembuhan anaknya ia rela kehilangan kedudukannya. Ia belajar berkorban untuk anaknya. Bukan hanya menuntut anak untuk menghormati, berkorban bagi orang tua tetapi ia sendiri mengajarkan prinsif berkorban. Berapa banyak orang tua yang tidak bisa menikmati hari tua (bahkan pensiun) karena anak tidak bisa mengabdi kepada orang tua dimasa tua. Ada banyak anak yang tidak bisa melihat dan memperhatikan orang tua menderita. Mengapa hal ini terjadi? Karena orang tua tidak pernah mengajar kepada anak betapa indahnya mengabdi. Tidak pernah diajar nilai-nilai pengorbanan.

Ketiga, Orang di sekitar kita
Perempuan yang selama 12 tahun sakit pendarahan berhasil menjamah jubah Yesus dan akhirnya sembuh. Ia mengalami mujizat tetapi harus melewati desakan orang-orang yang berkumpul. Orang-orang yang ada disekitar kita, mereka tidak mempunyai kemauan yang sama dengan kita. Seringkali mereka menjadi penghalang mujizat hadir dalam hidup kita. Belajarlah dari perempuan ini, keberhasilan bukan dimulai dari keberhasilan tetapi dari hal sederhana dengan kesungguhan yang besar. Tidak ada orang yang pensiun tanpa dulunya bekerja keras. Perempuan ini mampu melewati desakan-desakan kecil. Jangan takut terhadap desakan-desakan justru itu yang akan membawa kita menjadi pribadi teruji. Hati-hati dengan orang atau lingkungan yang justru tidak banyak menuntut. Lingkungan yang menawarkan prinsif-prinsif biasa, cara-cara biasa dan tidak ada jalan sukar yang harus perlu dilewati.

KESETIAAN TUHAN MEMBERIKAN PENGAMPUNAN KEPADA MANUSIA TERHADAP DIMENSI DOSA (1 Yoh. 1: 9)

Pendahuluan
Allah adalah pribadi yang setia terhadap umat-Nya. Dimasa lampau, kesetiaan pemeliharaan-Nya dinyatakan dengan membebaskan Israel - umat pilihan-Nya itu dari perbudakan keras di Mesir. Tidak hanya itu, ketika mereka terpojok karena kejaran tentara Firaun dan diperhadapkan dengan hamparan Laut luas, lagi-lagi kesetiaan-Nya dinyatakan dengan membelah Laut itu sehingga umat Israel dapat menyeberang tanpa tenggelam.
Bahkan sejak awal disaat terjadi konflik antara manusia dengan Allah, yakni hadirnya dosa di dunia ini, kulminasi kesetiaan-Nya dinyatakan kepada manusia dengan jalan Allah turun ke dunia menjadi manusia bahkan mati dikayu salib untuk menebus manusia dari dosa-dosanya.
Berbicara tentang kesetiaan Tuhan, manusia dengan pikiran terbatasnya tentu tidak dapat memahaminya. Ketidakmampuan itu, disebabkan bukan karena ”bodohnya penalaran,” ”sempitnya pikiran,” ”beku kemampuannya” melainkan kesetiaan Tuhan luas aspeknya. Disamping itu, intepretasi terhadapnya pun berbeda-beda. Dan, seringnya manusia salah dalam memahaminya.
Dalam surat 1 Yohanes, sesungguhnya kita diperlihatkan akan adanya pergumulan yang berat dalam diri manusia ketika menghadapi masalah terbesar sepanjang masa yakni dosa. Konteks menunjukkan bahwa orang-orang percaya sedang bergumul dalam menghadapi dosa yang mengakibatkan rusaknya persekutuan, baik dengan Tuhan maupun sesamanya (1 Yoh. 1:6).
Dalam tema kali ini, kita akan melihat dan mengetahui lebih dalam seputar alasan mengapa Tuhan setia memberikan pengampunan kepada manusia terhadap dimensi dosa. Ingat bahwa dalam hal ini bukan dosa orang yang belum percaya saja - kemudian bertobat dan Tuhan ampuni tetapi kepada orang yang sudah percaya dan jatuh ke dalam dosa Allah juga setia memberikan pengampunan. Pertanyaan menarik disini adalah, apa dasarnya?

Dasar Kesetiaan Tuhan Memberikan Pengampunan
Wajar bagi manusia apabila setia kepada Allah. Karena Allah selalu menunjukkan kesetiaan-Nya dalam berbagai cara dan waktu kepada manusia meskipun disisi lain manusia terus bergumul untuk setia kepada Allah. Alasan mungkin bisa diberikan, karena Tuhan Pencipta dan baik adanya; dalam kasih, pemeliharaan-Nya dan kuasa-Nya yang luar biasa. Namun sangat sulit untuk dimengerti apabila Allah setia kepada manusia secara khusus dalam memberikan pengampunan. Apabila Allah setia, apa dasarnya?
Pertama: Adanya Pengakuan Manusia Terhadap Dosa
Dasar pertama, mengapa Tuhan setia memberikan pengampunan kepada manusia terhadap dimensi dosa adalah; adanya pengakuan manusia terhadap dosa. Dalam ayat 9, dikatakan; ”jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Ayat ini diawali dengan kalimat bersyarat ”jika” yang kemudian diikuti dengan akibat yang ditimbulkan dari yang disyaratkan (mengaku: diampuni dan disucikan).
Persoalan dan pertanyaan serius sehubungan dengan hal ini adalah; dosa apa dan mana yang harus diakui? Apakah harus mengakui semua dosa? Bagaimana dengan sifat manusia yang mudah melupakan ”kisah buruk” yakni dosa dalam hidupnya? Dalam arti, mampukah manusia mengingat semua dosanya untuk diakui? Pengakuan yang dimaksud sesungguhnya dalam hal apa? Apakah pengakuan memutuskan akibat/konsekuensi dosa? Kemudian dimanakah letak keadilan Tuhan kalau dosa diampuni?
Frase ”jika kita mengaku dosa kita” berasal dari kata Yunani ”ean homologomen tas hamartias hemon,” yang dapat diterjemahkan ”jika kita mengaku dosa-dosa kita.” Dalam hal ini nuansa dan aspek dosa yang harus diakui lebih jelas (dosa-dosa kita: jamak) dan sangat berbeda dengan terjemahan Bahasa Indonesia (dosa kita: tunggal).
Kata ”mengaku” berasal dari kata Yunani ”homologomen” parsingnya adalah: kata kerja, subyungtif, kini, aktif - orang pertama jamak. Dari akar kata homologeo yang artinya: mengakui, mengaku, berterus terang, memuliakan (Ibr. 13:13). Modus subyungtif dalam hal ini, lebih tepat menyatakan fungsi kondisional yakni syarat ”kebenaran umum kini.”
Kembali, sehubungan dengan dosa apa dan yang mana yang harus diakui, secara konteks tidak jelas disebutkan (2:11). Dan mengenai kata ”mengakui” ayat itu dihubungkan dengan ayat 8 dan 9 ”jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa.” Secara positif berarti seseorang harus berkata bahwa ia berdosa. Dalam hal ini ”mengaku” yang dimaksud bukan hanya menunjuk dosa apa dan yang mana (secara spesifik) melainkan seseorang harus mengaku bahwa diri berdosa.
Seseorang harus menyadari bahwa keberdosaan itu selalu mengancam kehidupan mereka dan mereka harus senantiasa membutuhkan pertolongan Roh kudus (untuk memulihkan persekutuan yang rusak akibat dosa). Dalam hal ini diperlukan kerendahatian dan keterbukaan yang dengan sadar mengaku dosanya - melibatkan emosi. Sehingga kepastian kebenaran akibat dari pengakuan yakni pengampunan dan penyucian menjadi kenyataan yang tak diragukan.
Secara posisi orang percaya memang ada dalam kondisi aman dan pengakuan adalah jalan keluar untuk penyelesaian dari segi pengalaman. Sebab selama manusia hidup di dunia ini, ia akan selalu diperhadapkan dengan pergumulan dosa. Dan ayat ini sesungguhnya menjadi jalan keluar bagi orang percaya yang jatuh ke dalam perbuatan dosa. Pengakuan ini diperlukan disamping menunjukkan sikap kerendahatian dan sikap keterbukaan manusia dihadapan Tuhan, hal ini juga menyangkut pemenuhan terhadap apa yang disyaratkan Tuhan (bukti ketaatan).
Dalam pengakuan, manusia menyadari bahwa hidupnya dalam keseluruhannya tidak ada yang tersembunyi dihadapan Tuhan karena Tuhan melihat. Sehubungan dengan ini, Daud pernah berkata dalam Mazmur 32:3-4: ”Selama aku tidak mengakui dosaku aku merana karena mengaduh sepanjang hari. Siang malam Engkau menekan aku, TUHAN, tenagaku habis seperti diserap terik matahari (BIS).” C.S. Lewis juga pernah berkata; ”Orang kristen punya keuntungan besar. Bukan karena kurang jatuh dalam dosa dari pada mereka, juga bukan karena kurang terkutuk untuk hidup di dunia yang jatuh ke dalam dosa tetapi karena menyadari bahwa ia adalah orang berdosa di dunia yang berdosa.”
Kedua: Adanya Ikatan Darah: Persekutuan Dengan Yesus
Alkitab berkata; ”jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Pengampunan dan penyucian sebagai akibat dari pengakuan dihubungkan dengan ayat sebelumnya yakni melalui ”Darah Yesus, Anak-Nya itu” (ay. 7). Melalui ”Darah Yesus, Anak-Nya itu” - yang tercurah dikayu salib itulah yang memberikan pengampunan kepada manusia atas dosa yang dialaminya. Melalui ”Darah Yesus, Anak-Nya itu” manusia diperdamaikan dengan Allah. Darah Yesuslah yang menyucikan. Dan hal itu terjadi sekali untuk selamanya. Sehubungan dengan hal itu, Brooke Foss Westcott mengatakan: ”Darah Yesus menyebabkan keadaan tidak berdosa itu menjadi kenyataan. Hal itu perlu untuk bersekutu dengan Allah.”
Peristiwa Salib tidak perlu terulang lagi karena pengorbanan Yesus adalah untuk memperdamaikan dosa seluruh dunia (2:2). Manusia yang percaya kepada salib berarti ada ikatan dengan ”Darah Yesus, Anak-Nya itu.” Hal itu dipertegas dalam pasal 1 ayatnya yang ke-3 ”mendapatkan persekutuan.” Pada masa Perjanjian Lama, kita diingatkan dengan satu kisah tentang tulah di Mesir - anak sulung mati. Melalui Darah Anak Domba yang dioleskan pada ambang pintu, anak sulung tidak jadi mati karena malaikat maut melewatinya. Mengapa hal ini terjadi? Karena sebelumnya Allah sudah mengikat perjanjian kepada umat-Nya melalui Darah yang dioleskan diambang pintu. Sesungguhnya melalui Darah Anak Domba ada ikatan janji antara Allah dengan umat Israel. Melalui Darah itulah terjadi persekutuan dan janji Allah berlaku atas kita orang percaya.
Kata ”mengampuni” berasal dari kata Yunani ”afe” merupakan kata kerja subyungtif, aorist, aktif - orang ketiga tunggal dari akar kata ”afiemi” artinya: meninggalkan, bercerai, membiarkan, memperbolehkan, mengampuni. Kala aoris pada umumnya mengabaikan soal pencapaian atau kelangsungannya, tekanan diberikan pada penegasan akan adanya tindakan atau peristiwa. Sedangkan subyungtif menyatakan fungsi kondisional - kebenaran umum kini. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tindakan mengampuni merupakan kebenaran umum yang ditimbulkan dari apa yang disyaratkan ”jika mengakui.”
Ketiga: Bapa Pribadi yang Berkuasa Mengampuni Dosa
Perhatikan kata ”Ia” yang dalam ayat ini diulangi berkali-kali. Secara konteks kata ”Ia” dalam ayat ini jelas menunjuk kepada Pribadi Yesus Kristus (1:3,7:2:1-2). Pengampunan sejak semula adalah bukan inisiatif manusia melainkan Allah. Manusia tidak mampu mengatasi masalahnya tanpa Allah, karena manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan dirinya sendiri tanpa bantuan pihak yang Superior.
Kini, manusia menjadi makluk bejat yang merosot aklaknya, terasing dari Allah dan hidup dalam dosa dan pemberontakan, dibawah hukum Allah yang adil dan Allah yang kudus mereka melanggar. Artinya untuk bisa keluar dari pergumulan berat itu, inisiatif Allahlah yang merealisasikannya.
Pada masa Perjanjian Lama orang takut bertemu dengan Allah secara pribadi. Mereka takut bertemu karena dosa-dosanya. Pengalaman bangsa Israel ketika di gunung Sinai, mereka mewakilkannya kepada Musa. Orang Perjanjian Lama tidak bisa melihat Allah sebagai Bapa yang berkuasa mengampuni dosa. Sebenarnya konsep Bapa sudah muncul dalam Perjanjian Lama (Ul. 4:7), namun bangsa Israel tidak mampu melihat hal itu. Konsep itu berkembang dan nampak jelas dalam Perjanjian Baru, pada masa gereja. Bahkan dalam Perjanjian Baru, banyak kita temui konsep Allah sebagai Bapa. Lihatlah Allah sebagai Bapa yang berkuasa mengampuni dosa anda.

Penutup
Apakah hari-hari ini hidup anda terasa berat? Begitu banyak pergumulan dalam hidup anda? Mungkin masalah keluarga, pendidikan, pekerjaan, ekonomi, pribadi bahkan mungkin dosa-dosa anda. Anda mungkin merasa Allah hadir tetapi pertolongan-Nya jauh dari anda atau mungkin iblis menuduh anda dan mengingatkan akan masa lalu anda yang kelam? Ketahuilah Allah tidak pernah berubah. Dahulu, kemarin, sekarang bahkan untuk selama-lamanya Ia tetap Allah yang menerima kita, mengasihi kita apa adanya, dan tidak pernah menolak kita bahkan Dia adalah Allah yang berkuasa mengampuni dosa anda.

”MEMIMPIN DENGAN KUALITAS HIDUP” (Sebuah Refleksi serta Kontemplasi Diri Terhadap Tanggung Jawab) (1 Yoh. 1:1-4)

Banyak koleksi definisi tentang kepemimpinan yang mencoba mengusung arti terbaik dari kepemimpinan. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengimplementasikannya. Bagaimana membawa dunia, lingkungan dan keluarga kepada suatu perubahan, harapan atau perbaikan hidup yang lebih signifikan. Itulah yang seharusnya menjadi arah dan tujuan sebuah kepemimpinan. Tidak ada nilai terbaik dari seorang pemimpin kecuali memahami untuk apa pemimpin ada, dan eksistensinya membawa kompleksitas perubahan ditengah dunia yang berubah.
Berbicara tentang kepemimpinan itu berarti sebuah kesempatan yang menuntut tanggung jawab pribadi dan universal. Artinya, haruslah digunakan dengan sebaik-baiknya karena kepercayaan untuk memimpin pada tempat, masa dan posisi yang sama tidak selalu datang kepada seseorang. Terkadang seorang pemimpin diperhadapkan dengan pilihan, perjuangan dan pengorbanan yang akan menentukan sebuah mutu kepemimpinan dan tak jarang banyak yang gagal dan rapuh menghadapi semuanya itu.
Disamping itu, apabila berbicara tentang kesempatan banyak orang berkata bahwa kesempatan tidak pernah datang untuk kedua kali. Oleh karena itu, selagi ada kesempatan untuk memimpin ambilah dan gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Sebenarnya, kesempatan dapat datang kedua kali bahkan berkali-kali dalam hidup ini, hanya jarang kesempatan yang sama (bentuk dan cara) datang ke dalam hidup ini dua kali dengan segala tawaran dan keindahannya.
Ada banyak yang memilih mengakhiri pertandingan, melakukan apa saja, memilih apa saja, memutuskan apa saja demi kelangsungan dan demi bobot kepemimpinan. Dalam hal ini, seharusnya seseorang dapat belajar; dengan cara bagaimana ia harus memimpin, karena dengan demikian ia menyadari bahwa kepemimpinan adalah sebuah mandat ilahi untuk umat ilahi. Kegagalan memaknai hal ini berarti pergulatan serius terhadap esensi kepemimpinan dan keraguan mendalam terhadap eksistensi seorang pemimpin. Karena kepemimpinan adalah sebuah proses untuk terus melakukan pengerjaan ekstra terhadap tanggung jawab demi menghasilkan perbaikan menyeluruh dalam bidang yang dipercayakan.
Namun realitanya, untuk mencapai semuanya itu tidaklah mudah. Kesempatan ini, kita akan melihat dan belajar bagaimana memimpin dengan kualitas hidup? Banyak pemimpin gagal karena tidak ada pemahaman yang benar terhadap dirinya (identitas). Terlalu banyak pemimpin kandas dalam persoalan sehingga tidak menyelesaikan tuntutan, atau menyelesaikan sesuatu yang bukan wewenangnya, terseret dengan serentetan tanggung jawab yang dibebankan pada pundak mereka. Hal ini karena lemahnya bahkan tidak adanya sebuah kontemplasi diri terhadap kualitas hidup. Bagaimana Tuhan memandang seorang pemimpin dan bukan bagaimana pemimpin memandang dirinya sendiri secara kabur. Dalam perspektif rohani kita akan melihat bagaimana seorang memimpin dengan kualitas hidup Kristiani menurut 1 Yohanes 1: 1-4.

Pertama: Memiliki Pegangan Hidup (ay. 1)
Berhubungan dengan tujuan dituliskannya surat 1 Yohanes, Yohanes mencatat dalam ayat pertama yakni memberitakan tentang Firman hidup. Kata Firman hidup (Yun: logou tes zoes) dalam ayat ini jelas menunjuk kepada satu eksistensi yakni Pribadi Yesus. Yohanes menyadari hanya Firman hidup itulah yang mampu mengubah hidup, memaknai hidup bahkan membawa hidup kearah kebenaran. Oleh karena itu dengan yakin dan berani Yohanes berkata: ”yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba - itulah yang kami tuliskan.”
Dalam hal ini, Yohanes menaruh keyakinan penuh terhadap Firman hidup, yakni Yesus Kristus ketika melakukan tugas pelayanannya. Sama halnya dalam hidup ini, diperlukan keyakinan teguh dalam melakukan tugas dan tanggung jawab yang ada. Kehidupan yang serba memilih menuntut manusia untuk memiliki penguat dalam hidup ini. Mengingat keberadaan manusia yang lemah, tak berdaya menghadapi derasnya persoalan hidup oleh karena itu dibutuhkan pegangan dalam hidup ini. Sebagai seorang pemimpin, pegangan hidup sangatlah penting. Berbagai goncangan, tantangan dapat teratasi apabila seorang pemimpin memiliki pegangan hidup. Adakah pegangan dalam hidup anda saat anda menghadapi masalah dalam hidup ini? Milikilah pegangan hidup dalam hidup ini dan yakinlah akan pegangan hidup anda.

Kedua: Memiliki Pandangan Hidup (ay. 2)
Ada dua kata Yunani yang biasa menjelaskan tentang hidup yakni zoe dan bios. Menarik karena kata yang dipakai untuk menjelaskan ”hidup kekal” dalam ayat dua, dipakai kata zoen ten aionion. Hidup ”zoe” berarti hidup yang punya nilai, biasa dibedakan dengan bios yang sama sekali tidak berkaitan dengan roh. Dikatakan bahwa ”hidup kekal” itu ada bersama-sama dengan Bapa dan telah dinyatakan. Itu berarti bahwa hidup bukan sebuah misteri, seperti roda dan sebagainya. Kebenarannya, hidup itu adalah indah karena ”telah dinyatakan.” Sebab Yesus adalah keindahan dari hidup. Sebagai seorang pemimpin milikilah pandangan hidup yang benar. Pandangan kita terhadap hidup akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak kita, bahkan perspektif kita terhadap orang lain.

Ketiga: Memiliki Panggilan Hidup (ay.3-4)
Dalam ayat 3 dan 4 dijelaskan bahwa sesungguhnya orang percaya dipanggil untuk dua hal: bersekutu dan bersukacita. Kata ”bersekutu” berasal dari kata Yunani koinonia dengan arti; memiliki bersama, ikut serta dalam sesuatu, menjadikan bersama, memiliki bersama: dengan persekutuan dalam darah dan tubuh, mempunyai bersama dalam Kristus. Ini berarti orang percaya mempunyai panggilan yang istimewa di dalam hidup mereka. Hal ini seharusnya menjadi pemahaman penuh arti bagi orang percaya. Mereka dalam rutinitas aktivitas harus tetap bersekutu dengan Sang Pencipta.
Sedangkan kata ”bersukacita” (Yun: kara) memiliki nuansa arti, sukacita bukan secara lahiriah melainkan sukacita karena pengakuan akan Sang Juru Selamat, sukacita karena hasil dari situasi baru yang dimiliki. Dan, dalam konteks ini situasi baru itu adalah karena hidup kekal. Seorang pemimpin harus memiliki panggilan hidup dan menghidupi panggilan itu. Hal ini memampukan para pemimpin tetap bersukacita meski banyak tantangan, maju terus meski himpitan persoalan tiada akhir.

”MEMIMPIN DENGAN KUALITAS HIDUP” (Sebuah Refleksi serta Kontemplasi Diri Terhadap Tanggung Jawab) (1 Yoh. 1:1-4)

Banyak koleksi definisi tentang kepemimpinan yang mencoba mengusung arti terbaik dari kepemimpinan. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengimplementasikannya. Bagaimana membawa dunia, lingkungan dan keluarga kepada suatu perubahan, harapan atau perbaikan hidup yang lebih signifikan. Itulah yang seharusnya menjadi arah dan tujuan sebuah kepemimpinan. Tidak ada nilai terbaik dari seorang pemimpin kecuali memahami untuk apa pemimpin ada, dan eksistensinya membawa kompleksitas perubahan ditengah dunia yang berubah.
Berbicara tentang kepemimpinan itu berarti sebuah kesempatan yang menuntut tanggung jawab pribadi dan universal. Artinya, haruslah digunakan dengan sebaik-baiknya karena kepercayaan untuk memimpin pada tempat, masa dan posisi yang sama tidak selalu datang kepada seseorang. Terkadang seorang pemimpin diperhadapkan dengan pilihan, perjuangan dan pengorbanan yang akan menentukan sebuah mutu kepemimpinan dan tak jarang banyak yang gagal dan rapuh menghadapi semuanya itu.
Disamping itu, apabila berbicara tentang kesempatan banyak orang berkata bahwa kesempatan tidak pernah datang untuk kedua kali. Oleh karena itu, selagi ada kesempatan untuk memimpin ambilah dan gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Sebenarnya, kesempatan dapat datang kedua kali bahkan berkali-kali dalam hidup ini, hanya jarang kesempatan yang sama (bentuk dan cara) datang ke dalam hidup ini dua kali dengan segala tawaran dan keindahannya.
Ada banyak yang memilih mengakhiri pertandingan, melakukan apa saja, memilih apa saja, memutuskan apa saja demi kelangsungan dan demi bobot kepemimpinan. Dalam hal ini, seharusnya seseorang dapat belajar; dengan cara bagaimana ia harus memimpin, karena dengan demikian ia menyadari bahwa kepemimpinan adalah sebuah mandat ilahi untuk umat ilahi. Kegagalan memaknai hal ini berarti pergulatan serius terhadap esensi kepemimpinan dan keraguan mendalam terhadap eksistensi seorang pemimpin. Karena kepemimpinan adalah sebuah proses untuk terus melakukan pengerjaan ekstra terhadap tanggung jawab demi menghasilkan perbaikan menyeluruh dalam bidang yang dipercayakan.
Namun realitanya, untuk mencapai semuanya itu tidaklah mudah. Kesempatan ini, kita akan melihat dan belajar bagaimana memimpin dengan kualitas hidup? Banyak pemimpin gagal karena tidak ada pemahaman yang benar terhadap dirinya (identitas). Terlalu banyak pemimpin kandas dalam persoalan sehingga tidak menyelesaikan tuntutan, atau menyelesaikan sesuatu yang bukan wewenangnya, terseret dengan serentetan tanggung jawab yang dibebankan pada pundak mereka. Hal ini karena lemahnya bahkan tidak adanya sebuah kontemplasi diri terhadap kualitas hidup. Bagaimana Tuhan memandang seorang pemimpin dan bukan bagaimana pemimpin memandang dirinya sendiri secara kabur. Dalam perspektif rohani kita akan melihat bagaimana seorang memimpin dengan kualitas hidup Kristiani menurut 1 Yohanes 1: 1-4.

Pertama: Memiliki Pegangan Hidup (ay. 1)
Berhubungan dengan tujuan dituliskannya surat 1 Yohanes, Yohanes mencatat dalam ayat pertama yakni memberitakan tentang Firman hidup. Kata Firman hidup (Yun: logou tes zoes) dalam ayat ini jelas menunjuk kepada satu eksistensi yakni Pribadi Yesus. Yohanes menyadari hanya Firman hidup itulah yang mampu mengubah hidup, memaknai hidup bahkan membawa hidup kearah kebenaran. Oleh karena itu dengan yakin dan berani Yohanes berkata: ”yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba - itulah yang kami tuliskan.”
Dalam hal ini, Yohanes menaruh keyakinan penuh terhadap Firman hidup, yakni Yesus Kristus ketika melakukan tugas pelayanannya. Sama halnya dalam hidup ini, diperlukan keyakinan teguh dalam melakukan tugas dan tanggung jawab yang ada. Kehidupan yang serba memilih menuntut manusia untuk memiliki penguat dalam hidup ini. Mengingat keberadaan manusia yang lemah, tak berdaya menghadapi derasnya persoalan hidup oleh karena itu dibutuhkan pegangan dalam hidup ini. Sebagai seorang pemimpin, pegangan hidup sangatlah penting. Berbagai goncangan, tantangan dapat teratasi apabila seorang pemimpin memiliki pegangan hidup. Adakah pegangan dalam hidup anda saat anda menghadapi masalah dalam hidup ini? Milikilah pegangan hidup dalam hidup ini dan yakinlah akan pegangan hidup anda.

Kedua: Memiliki Pandangan Hidup (ay. 2)
Ada dua kata Yunani yang biasa menjelaskan tentang hidup yakni zoe dan bios. Menarik karena kata yang dipakai untuk menjelaskan ”hidup kekal” dalam ayat dua, dipakai kata zoen ten aionion. Hidup ”zoe” berarti hidup yang punya nilai, biasa dibedakan dengan bios yang sama sekali tidak berkaitan dengan roh. Dikatakan bahwa ”hidup kekal” itu ada bersama-sama dengan Bapa dan telah dinyatakan. Itu berarti bahwa hidup bukan sebuah misteri, seperti roda dan sebagainya. Kebenarannya, hidup itu adalah indah karena ”telah dinyatakan.” Sebab Yesus adalah keindahan dari hidup. Sebagai seorang pemimpin milikilah pandangan hidup yang benar. Pandangan kita terhadap hidup akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak kita, bahkan perspektif kita terhadap orang lain.

Ketiga: Memiliki Panggilan Hidup (ay.3-4)
Dalam ayat 3 dan 4 dijelaskan bahwa sesungguhnya orang percaya dipanggil untuk dua hal: bersekutu dan bersukacita. Kata ”bersekutu” berasal dari kata Yunani koinonia dengan arti; memiliki bersama, ikut serta dalam sesuatu, menjadikan bersama, memiliki bersama: dengan persekutuan dalam darah dan tubuh, mempunyai bersama dalam Kristus. Ini berarti orang percaya mempunyai panggilan yang istimewa di dalam hidup mereka. Hal ini seharusnya menjadi pemahaman penuh arti bagi orang percaya. Mereka dalam rutinitas aktivitas harus tetap bersekutu dengan Sang Pencipta.
Sedangkan kata ”bersukacita” (Yun: kara) memiliki nuansa arti, sukacita bukan secara lahiriah melainkan sukacita karena pengakuan akan Sang Juru Selamat, sukacita karena hasil dari situasi baru yang dimiliki. Dan, dalam konteks ini situasi baru itu adalah karena hidup kekal. Seorang pemimpin harus memiliki panggilan hidup dan menghidupi panggilan itu. Hal ini memampukan para pemimpin tetap bersukacita meski banyak tantangan, maju terus meski himpitan persoalan tiada akhir.

”GIDI: TIDAK ADA GAJI BERKAT TIAP HARI” (Sebuah refleksi serta kontemplasi diri terhadap panggilan Tuhan) Oleh: Ev. Chornelius Sutriyono, S.Th

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah gaji dapat dimaknai sbb; pertama, upah kerja yang dibayar diwaktu yang tetap; kedua, balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu ”bulanan.” Dari definisi ini maka dapat ditarik pengertian bahwa gaji itu bersifat tetap (konstan). Keterlambatan bahkan pengabaian terhadap hal ini berarti pelanggaran terhadap hak pekerja. Disamping itu, jika berbicara gaji selalu berhubungan dengan uang.
Apabila hal ini dikaitkan dalam konteks pelayanan maka banyak organisasi Kristen bahkan juga Hamba Tuhan terlalu sulit menerima istilah ini. Lebih halusnya, biasa mereka memakai istilah ”persembahan kasih,” ”persembahan bulanan,” ”kewajiban gereja,” ”berkat,” dll. Pertanyaan penting disini adalah apakah Hamba Tuhan perlu digaji? Sebagai wujud ucapan terima kasih dan penghargaan wajibkah diberlakukan gaji dalam gereja? Kemudian dapatkah kita menghubungkan apa yang Rasul Paulus katakan dalam 1 Korintus 9: 13-14, sebagai dasar dituntut dan diberlakukannya gaji bagi Hamba Tuhan?
”GIDI: tidak ada gaji berkat tiap hari” adalah sebuah pernyataan iman. Meskipun secara universal pernyataan ini kurang tepat, karena bersifat generalisasi (umum) dan kebenarannya ada banyak hamba Tuhan yang di gaji. Namun dalam tulisan ini kita tidak sedang mempersoalkan hal ini tetapi mencoba mengusung keselarasan pemahaman akan orientasi sebuah pelayanan. Ada dan tidak ada gaji seharusnya bukan menjadi ukuran atau motivasi dalam pelayanan.
Secara sederhana, ketika ada gaji biasanya mempengaruhi kinerja pekerja. Apakah itu akan berdampak juga bagi Hamba Tuhan? Dalam arti, ketika digaji apakah pelayanan semakin termotivasi dan berdedikasi? Meskipun seharusnya, motivasi dan dedikasi bukan tergantung atau bersumber dari hal itu.
Namun realita yang ada cukup memberi bukti bahwa banyak yang digaji justru berdampak negatif-tidak bergantung kepada Tuhan. Tidak sedikit pelayanan gagal, tidak lagi berminat dan bergeser motivasi dengan orientasi ”upah.” Akhirnya, tempat pelayanan tidak ubahnya menjadi tempat kerja mencari uang. Semua orang memang perlu uang termasuk hamba Tuhan tetapi bukan berarti melayani untuk mencari uang. Baik Paulus maupun Tuhan Yesus secara teologis mengenai prinsif-prinsif ini tidak pernah bertentangan. Ingat bahwa kita menjadi hamba Tuhan bukan karena orang lain, keluarga tau teman melainkan karena panggilan Allah. Itu berarti kita menjadi hamba Tuhan karena sesungguhnya panggilan Tuhan bukan panggilan jemaat/gereja. Mempercayai hal ini itu sama artinya kita mempercayakan kebutuhan kita kepada Tuhan. Banyak hamba Tuhan melakukan aktivitas rohani tetapi sesungguhnya melakukan aktivitas dengan orientasi duniawi.
Ketika berbicara gaji sering dikonotasikan-sekuler. Oleh karena itu, biasa beberapa gereja tidak memakai istilah ini tetapi dengan istilah lain yang nampak lebih halus. Masalah istilah, sesungguhnya tidak menjadi persoalan, yang lebih penting disini adalah motivasi terdalam yang mengiringinya. Apabila gaji diberlakukan dan menjadi pendapatan wajib bagi Hamba Tuhan sebenarnya tidak ada masalah. Yang jauh bermasalah adalah mengapa Gereja tidak memberikan ”gaji”? Pertanyaan mengapa harus dipahami tanpa tendensi apapun, jujur dan terbuka. Kalau tidak digaji karena memang keadaan gereja tidak mampu dan Hamba Tuhan menyadari panggilannya bukan mencari gaji, hal itu tidak jadi persoalan. Namun disayangkan apabila gereja mampu tetapi terlalu sulit memperhatikan kebutuhan Hamba Tuhan, mengapa?
Ada banyak hamba Tuhan digaji, pelayanan tidak teruji. Ada pula yang tanpa gaji tetapi pelayanan terpuji dan diakui. Secara sederhana bersyukurlah dengan apa yang kita miliki sekarang. Hamba Tuhan adalah jabatan/posisi yang Tuhan berikan bagi kita dan bukan dari manusia. Menyadari hal itu berarti kita mempercayakan kehidupan kita seutuhnya pada pemeliharaan Allah yang tidak pernah terlambat dalam waktu dan cara yang luar biasa. Ingat kembali, banyak orang menjadi hamba Tuhan bukan karena ingin melakukan sesuatu dari posisinya tetapi ingin mendapatkan sesuatu dari posisinya. Apakah itu termasuk kita? Jadilah hamba yang setia yang benar-benar menghidupi panggilan kita. Amin.