Minggu, 18 Januari 2009

PEMBEBASAN DALAM KITAB ESTER:SUATU REFLEKSI TERHADAP REAKTUALISASI SPIRITUAL DALAM MENGALAMI KARYA ALLAH

BAB I
PENDAHULUAN
Ditulis oleh Ev. Chornelius Sutriyono, S.Th)

Kitab Ester merupakan kitab yang unik dan menarik. Keunikan itu nampak, misalnya tidak disebutkannya nama Allah satu kalipun di dalamnya sedangkan nama raja Persia disebutkan 190 kali dalam 167 ayat. Selain itu, kitab Ester juga cukup banyak dipermasalahkan. Kitab Misyna berkata bahwa adanya pertentangan dalam beberapa kalangan Yahudi sekitar abad 2 M yang berhubungan dengan kanonisasi beberapa kitab, yaitu Kidung Agung, Pengkhotbah dan Ester. Selanjutnya Hill dan Walton memberikan alasan bahwa;
Beberapa Kitab dalam kanon Alkitab Ibrani menjadikan timbulnya perdebatan di kalangan masyarakat Ibrani. Kitab-kitab yang diperdebatkan ini, atau antilegomena (artinya “yang tidak disetujui”), termasuk Kitab Ester, karena dalam kitab tersebut tidak dijumpai nama Allah, kitab Amsal, Karena sifat praktis kebijaksanaan itu menjadikan kitab tersebut lebih banyak kelihatan seperti hikmat “duniawi” daripada hikmat Ilahi-dan orang tidak perlu “takut akan Tuhan” untuk mendapatkan manfaat dari pengajaran hikmat. Kitab Pengkhotbah karena nadanya yang pesimistis dan mengutamakan kenikmatan. Kitab Kidung Agung, yang mengetengahkan syair cinta yang membirahikan, dan Kitab Yehezkiel, baik karena berbagai perbuatan dan penglihatan yang aneh maupun karena ajaran-ajarannya mengenai korban persembahan yang tampak bertentangan dengan Taurat Musa.

Berkaitan dengan hal ini Beth Berg mengatakan, ”Orang kafir dan orang Yahudi yang ditampilkan dalam cerita sama-sama digerakkan oleh motif kesombongan, keserakahan dan kekejaman. Jika kitab ini mendapat tempat dalam Alkitab, ini merupakan gambaran tentang umat manusia yang belum ditebus. Marthin Luther berkata, ”Saya sangat memusuhi kitab ini, karena terlalu bersifat keyahudian dan banyak hal-hal yang tidak layak dan berbau kafir. Paton juga berkomentar, ”Tak ada seorang pun tokoh berbudi dalam kitab ini.” Bahkan sekarang ini kaum Hawa menemukan alasan untuk menolak kitab Ester karena sikap “chauvinisme” laki-laki terhadap perempuan yang mereka lihat di dalamnya, yang nyata dalam semangat patriotik yang berlebih-lebihan pada suatu kelompok dalam suatu bangsa.
Di samping itu, persoalan juga disebabkan tidak munculnya nama Allah. Tetapi meskipun eksistensi nama Allah tidak muncul dalam kitab ini, namun pemeliharaan Allah (Providensi) terlihat jelas di dalamnya, yaitu melalui pembebasan orang Yahudi dari tindakan Haman. Kitab Ester membuktikan bahwa Allah tetap setia di dalam memelihara dan menolong umat-Nya yang berada di dalam kesusahan dan kesulitan. Bahkan Samuel J. Schultz dalam bukunya “Pengantar Perjanjian Lama,” mengatakan bahwa meskipun nama Allah tidak disebutkan, tetapi Allah tetap menyatakan pemeliharaan-Nya dan melindungi umat-Nya. Dalam hal yang sama Karssen juga mengatakan, “Dan meskipun nama Allah tidak muncul satu kalipun di dalam kitab Ester, kehadiran-Nya nyata di dalam setiap halaman.”
Pemeliharaan dan perlindungan kekal inilah yang telah membawa umat yang berada di dalam pembuangan dan tetap memilih untuk tinggal di negeri pembuangan, mengalami kasih Allah yang sangat besar dan ajaib. Kasih yang telah membebaskan mereka dari rencana jahat orang-orang yang tidak mengenal TUHAN.
Sepanjang sejarah Israel, pembebasan nampaknya menjadi peristiwa yang umum. Peristiwa ketika TUHAN turun tangan dalam setiap keadaan untuk melepaskan bangsa Yahudi dari ancaman yang dihadapi dalam sejarah, menjadikan “tontonan menarik” bagi orang yang tidak mengenal Allah Israel; tulah di Mesir, pembebasan dari perbudakan di Mesir, terbelahnya Laut Merah, runtuhnya tembok Yerikho serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Menariknya, peristiwa pembebasan ini tidak hanya cukup berhenti di situ. Allah secara konsisten terus bekerja dan menjadi pemerhati umat yang tertindas, dan sekarang Ia dengan kemaha kuasaan-Nya menunjukkannya dalam Kitab Ester, di mana pembebasan (deliverance), menjadi hal yang menarik dan penuh harapan. Kata harapan dalam pengertian ini bukan hanya kerinduan hati yang mungkin akan terpenuhi melainkan suatu kepastian datangnya masa depan yang indah.
Sebagai bangsa yang dikhususkan bagi Allah, Israel merupakan kerajaan imam bagi Yahweh sehingga bangsa ini tidak bisa bertindak sesukanya menuruti kemauannya sendiri tanpa pimpinan Allah. Fenomena pembebasan Allah terhadap bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan Allah, sekilas memang menarik dari perspektif Ilahi, tetapi jauh daripada itu ternyata hal ini telah menjadi perbincangan serius dalam kancah theologia. Ironisnya, pembebasan tersebut telah menjadi dasar munculnya suatu pemikiran baru di masa kini, bahwa; menjadi hamba TUHAN adalah berarti merdeka dengan sesungguhnya ataupun sebaliknya, menjadi merdeka dengan sesungguhnya adalah berarti menjadi hamba TUHAN.
Dari pemikiran di atas, tentu tidak cukup dipahami dalam pengertian satu arah, tetapi perlu melihat sisi lain dari bebas (merdeka) yang dimaksud. Sama halnya dengan makna pembebasan (deliverance) dalam kitab Ester, perlu mendapatkan pemahaman secara benar dan akurat guna menemukan arti sesungguhnya serta implementasinya bagi orang percaya masa kini.
Latar Belakang Masalah
Pembahasan dengan judul “Pembebasan dalam Kitab Ester: Suatu Refleksi terhadap Reaktualisasi Spiritual dalam Mengalami Karya Allah (Studi Eksegesis-Teologis Kitab Ester),” dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu; Pertama, hal yang berkaitan dengan ketidakjelasan mengenai pembebasan dalam konteks kitab Ester. Dalam realitanya, pembebasan Ilahi secara khusus kepada orang-orang tertindas nampaknya memang menjadi ketertarikan Allah yang sangat menonjol.
Pada awalnya, pembebasan hanya terlihat dalam sejarah Israel yang begitu mengagumkan sebagai umat pilihan Allah. Di mana seakan-akan Allah tidak segan-segan meluluh-binasakan orang-orang yang menjadi penghalang bagi umat Israel. Berkaitan dengan hal ini, Tri Budiardjo, mengatakan bahwa;
Ia bertindak secara konsisten sebagaimana yang digambarkan dalam kitab-kitab Mazmur, sebagai pembela orang miskin, orang lemah, orang tertindas dan secara khusus anak-anak yang menderita karena berbagai ancaman dan resiko yang berpengaruh negatif terhadap hidup mereka.
Sehubungan dengan itu, James H. Cone, menyimpulkan bahwa, tema yang konsisten dalam nubuatan tentang bangsa Israel adalah keprihatinan Allah terhadap tidak adanya keadilan dalam hal sosial, ekonomi, dan politik bagi mereka yang miskin dan tersingkir di masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa Yahweh menurut nubuat Ibrani, tidak toleran terhadap ketidakadilan yang melawan orang miskin; melalui aktivitas-Nya orang miskin akan dibela. Kembali, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah dari pembebasan bagi orang yang tertindas. Selain itu, Miranda juga melihat ke dalam bahwa sentral Alkitab adalah keadilan sosial, keselamatan bagi orang miskin. Berbagai pemahaman tersebut, jelas menunjukkan bahwa masalah pembebasan menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas.
Ketidakjelasan pemahaman tersebut juga nampak ketika dalam beberapa terjemahan dipakai kata yang berbeda. Alkitab Bahasa Inggris di antaranya; The Living Bible Paraphased, Holy Bible, The Holy Bible Revised Standard Version, dipakai kata “deliverance” atau “pembebasan.” Septuaginta memakai kata skeph (protection) yang artinya pakaian, tempat tinggal (hrf: penutup). Teks Ibrani (BHS), kata yang dipakai adalah hl'úC'h; (haƒƒ¹l¹), dari akar kata lc;n\ (n¹ƒal). Kata ini bisa diterjemahkan “merebut,” “melepaskan,” dan ”menyelamatkan.” Sedangkan Lembaga Alkitab Indonesia memakai kata “kelepasan.” Hal ini jelas menarik sebab kata yang sama juga dipakai dalam konteks Kitab Keluaran (Kel. 5:23). Penemuan terhadap ketidakjelasan pemahaman ini, tentunya perlu dikaji secara Biblikal sehingga harapan terhadap pemahaman yang benar akhirnya tersampaikan.
Kedua, berkaitan dengan ketidakadilan dan isu teologis yang
berkembang, dikatakan bahwa; ketidakadilan yang terjadi di bangsa Yahudi selama di pembuangan, baik secara sosial-politik, ekonomi dan spiritual apakah benar merupakan alasan absolute Allah membebaskan umat Israel. Sehingga dengan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya, Ia bertindak sebagai pembela kaum tertindas.
Sekalipun secara tegas tidak diragukan, bahwa pemahaman seperti ini, dibangun dari landasan kitab suci, namun keyakinan dasar seperti ini tentunya menyempitkan pemahaman terhadap pribadi Allah yang bisa berkarya melalui dan kepada siapa saja sesuai kehendak-Nya. John A. Martin menjelaskan bahwa pembebasan tersebut terkait dengan perjanjian antara Allah dengan Israel. Sedangkan J. Vernon McGee berkaitan dengan perkataan Mordekai tentang pembebasan mengatakan bahwa hal itu datang karena Mordekhai mengetahui janji Allah untuk Abraham. Kepada Abrahamlah untuk pertama kalinya Alkitab membuka informasi tentang cikal-bakal keberadaan bangsa Israel. Hill dan Walton mengatakan bahwa perjanjian Abraham adalah awal dasar teologis dan identitas umat Israel.
Ketiga, peristiwa pembebasan orang Israel dari Mesir dan perlindungan Allah dalam perjalanan dari Mesir menuju ke Sinai menjadi contoh utama di Alkitab mengenai kemampuan Allah untuk menyelamatkan umat-Nya. Diperlukan Allah yang mahakuasa untuk membebaskan Israel “dari tangan Firaun” (Ul. 7:8), dan berabad-abad kemudian dari kekuasaan Babilonia (Yes. 52:9).
Allah telah membebaskan, memelihara dan membawa bangsa Israel untuk menikmati dan mengalami persekutuan dengan-Nya. Tetapi karya Allah bagi Israel tidak berhenti sampai di sini. Ini merupakan karya Allah bagi Israel di masa yang lampau. Allah masih mempunyai rencana yang luar biasa bagi Israel. Allah masih menyatakan karya-Nya bagi Israel pada masa yang akan datang. Bahkan sehubungan dengan itu, banyak theolog Kristen berpendapat bahwa pembebasan orang Yahudi dari pemusnahan Haman adalah merupakan cikal bakal Mesias “Pembebas”. Bakker mengatakan bahwa;
Kitab Ester menceritakan kepada kita, bagaimana orang di masa pemerintahan Ahasyweros hendak membasmi bangsa Yahudi. Seandainya maksud orang itu tercapai maka Kristus tidak akan lahir ke bumi ini dan setanlah yang akan menang. Itulah sebabnya Allah melindungi umat-Nya dan untuk itu Ia memakai Ester.
Ketika bayi Yesus dibawa kembali dari Mesir ke Palestina, Matius mengutip Hosea 11:1, yaitu suatu ayat yang menunjuk kepada peristiwa pembebasan, “Dari Mesir Ku panggil AnakKu” (Mat. 2:15). Dalam Perjanjian Baru, kebanyakan kiasan mengacu kepada peristiwa keluarnya Israel dan penebusan dari dosa (Rm. 3:24). Melalui Kristus, orang beriman sudah dilepaskan “dari kuasa kegelapan” sama seperti orang Israel sudah dibebaskan dari kuasa penindasan Firaun (Kol. 1:13-14).
Melihat kebenaran ini, sangatlah menarik untuk mengetahui apakah pembebasan di dalam konteks Ester merupakan “bebas” dalam pengertian ganda. Sebab sekian lama Israel mengharapkan seseorang yang mampu membebaskan mereka dari kekejaman penindasan. Hal itu hanya dapat terpenuhi dengan datangnya Mesias “Pembebas” yang dalam Perjanjian Baru diperkenalkan sebagai Yesus. Namun demikian umat Israel menolak akan hal itu.

Rumusan Masalah
Beranjak dari paradigma terdahulu berkenaan dengan penerimaan kitab Ester (kanon), sebagai wahyu obyektif Allah yang diberikan sebagai kebenaran proposional, para filsuf seperti halnya Marthin Luther menolak keesaan kitab Ester dan memasukkannya ke dalam kanon. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa kekurangan di dalamnya, di antaranya; tidak munculnya nama Allah, serta isu degradasi moral di dalam kitab Ester.
Namun masalah ini tidak terus berkepanjangan, sebab di samping diketemukannya susunan akrostik (YHWH), dalam kitab Ester sebagai jawaban, kekurangan ini adalah hal yang kecil bila melihat manifestasi/perwujudan yang nyata dari pemeliharaan Ilahi yang terus bekerja dalam setiap keadaan untuk melepaskan bangsa Yahudi dari ancaman terbesar untuk keberadaannya dalam sejarah.
Berawal dari pemahaman di atas dan juga menariknya kitab Ester untuk dibahas, maka untuk memperjelas pembahasan dalam bagian ini akan dibahas rumusan masalah, yang akan terformulasi ke dalam bentuk pertanyaan. Pertama, seputar hal yang berkaitan dengan pembebasan dalam kitab Ester. Apa makna pembebasan dalam kitab Ester? Apakah yang dimaksud bebas secara fisik? Ataukah pembebasan Allah terhadap bangsa Yahudi sebagai cikal bakal Mesias? Ataukah ada alasan lain mengapa berlaku pembebasan atas orang Yahudi? Kalau seandainya benar sebagai cikal bakal Mesias, seandainya musnah toh masih banyak orang Yahudi yang tersebar?
Kedua, hal yang berkaitan dengan ketidakadilan dan isu teologis yang ada dan berkembang, yaitu, apa bukti ketidakadilan dalam kitab Ester? Apakah pajak membuat mereka menjadi miskin? Apakah ketidakadilan yang terjadi dalam konteks Ester hanya bersifat lokal atau bahkan terjadi secara menyeluruh bagi kaum Israel? Apakah ketetapan hati mereka untuk tetap tinggal di negeri pembuangan dan tidak mau kembali ke Yerusalem, menjadi alasan ketidakadilan terjadi? Apakah ketidakadilan yang terjadi di dalam kitab Ester adalah merupakan ketertarikan Allah untuk membebaskan umat-Nya? Apakah isu degradasi moral benar dalam kisah ini (kisah Ester dipilih jadi Ratu)? Dan apakah isu degradasi moral yang ada juga menjadi penyebab Allah membebaskan umat-Nya?
Ketiga, dalam konteks Ester terjadi permainan politik dalam pemerintahan yang berimbas pada penindasan dan pemusnahan suku bangsa (etnis). Di situ Ester dan Mordekhai tampil sebagai pembebas bagi bangsanya. Di saat terjadi pemusnahan (politik-etnis) dari orang yang berkuasa yakni Haman, justru Ester dan Mordekhai tampil dengan pembebasannya. Sehingga dalam pengertian biasa ia dan bangsanya luput dari kekejaman yang disebabkan oleh Haman.
Pembebasan yang ada memang nampaknya murni usaha manusia semata, meliputi Ester, Mordekhai dan peran Raja Ahasyweros, tetapi sesungguhnya apabila menelusuri kisah secara kronologis maka akan terlihat jelas bahwa semua yang terjadi tidak bisa lepas dari pemeliharaan Allah. Namun dalam hal ini, menarik untuk melihat tindakan dan cara (model) pembebasan yang diambil oleh Ester dan Mordekai dari permainan politik yang tidak baik. Dalam hal ini penulis tidak sedang mengasosiasikan dengan teologi pembebasan, tetapi mencari makna pembebasan dalam konteks Ester.
Sehubungan dengan hal itu, juga mencari dominansi dan juga relevansi antara tekanan pembebasan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Maksudnya, apa yang menjadi tekanan pembebasan dalam konteks Perjanjian Lama dan apa tekanan pembebasan dalam konteks Perjanjian Baru dan apakah ada relevansi di antara keduanya.

Tujuan Penulisan
Penulisan dengan judul “Pembebasan dalam Kitab Ester: Suatu Refleksi terhadap Reaktualisasi Spiritual dalam Mengalami Karya Allah (Studi Eksegesis-Teologis Kitab Ester),” memiliki dua tujuan, yakni; Pertama, memberikan penjelasan mengenai pembebasan dalam Kitab Ester dengan mengangkat nats yang ada secara eksegezis, sehingga penjelasan atas kesimpangsiuran makna pembebasan dapat terselesaikan.
Kedua, penulis secara tegas mengkaji atau meninjau model pembebasan dalam konteks Kitab Ester. Di mana ketika kekuasaan dan politik bercampur serta berusaha untuk menumpas eksistensi suatu bangsa, Ester dan Mordekhai tampil sebagai pribadi pembebas. Dalam hal ini, gereja dapat bersikap dan menetukan langkah ketika kekuasaan dan politik bercampur, mungkin dalam hubungannya dengan itu, orang percaya bisa melihat model pembebasan yang dilakukan oleh Ester dan Mordekhai. Sehingga, “teologi kita dapat mengarahkan kita untuk mengubah masyarakat di lingkungan kita sehingga semakin memungkinkan rakyat mengalami apa artinya hidup manusiawi sepenuhnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar