Rabu, 17 Desember 2008

”GIDI: TIDAK ADA GAJI BERKAT TIAP HARI” (Sebuah refleksi serta kontemplasi diri terhadap panggilan Tuhan) Oleh: Ev. Chornelius Sutriyono, S.Th

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah gaji dapat dimaknai sbb; pertama, upah kerja yang dibayar diwaktu yang tetap; kedua, balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu ”bulanan.” Dari definisi ini maka dapat ditarik pengertian bahwa gaji itu bersifat tetap (konstan). Keterlambatan bahkan pengabaian terhadap hal ini berarti pelanggaran terhadap hak pekerja. Disamping itu, jika berbicara gaji selalu berhubungan dengan uang.
Apabila hal ini dikaitkan dalam konteks pelayanan maka banyak organisasi Kristen bahkan juga Hamba Tuhan terlalu sulit menerima istilah ini. Lebih halusnya, biasa mereka memakai istilah ”persembahan kasih,” ”persembahan bulanan,” ”kewajiban gereja,” ”berkat,” dll. Pertanyaan penting disini adalah apakah Hamba Tuhan perlu digaji? Sebagai wujud ucapan terima kasih dan penghargaan wajibkah diberlakukan gaji dalam gereja? Kemudian dapatkah kita menghubungkan apa yang Rasul Paulus katakan dalam 1 Korintus 9: 13-14, sebagai dasar dituntut dan diberlakukannya gaji bagi Hamba Tuhan?
”GIDI: tidak ada gaji berkat tiap hari” adalah sebuah pernyataan iman. Meskipun secara universal pernyataan ini kurang tepat, karena bersifat generalisasi (umum) dan kebenarannya ada banyak hamba Tuhan yang di gaji. Namun dalam tulisan ini kita tidak sedang mempersoalkan hal ini tetapi mencoba mengusung keselarasan pemahaman akan orientasi sebuah pelayanan. Ada dan tidak ada gaji seharusnya bukan menjadi ukuran atau motivasi dalam pelayanan.
Secara sederhana, ketika ada gaji biasanya mempengaruhi kinerja pekerja. Apakah itu akan berdampak juga bagi Hamba Tuhan? Dalam arti, ketika digaji apakah pelayanan semakin termotivasi dan berdedikasi? Meskipun seharusnya, motivasi dan dedikasi bukan tergantung atau bersumber dari hal itu.
Namun realita yang ada cukup memberi bukti bahwa banyak yang digaji justru berdampak negatif-tidak bergantung kepada Tuhan. Tidak sedikit pelayanan gagal, tidak lagi berminat dan bergeser motivasi dengan orientasi ”upah.” Akhirnya, tempat pelayanan tidak ubahnya menjadi tempat kerja mencari uang. Semua orang memang perlu uang termasuk hamba Tuhan tetapi bukan berarti melayani untuk mencari uang. Baik Paulus maupun Tuhan Yesus secara teologis mengenai prinsif-prinsif ini tidak pernah bertentangan. Ingat bahwa kita menjadi hamba Tuhan bukan karena orang lain, keluarga tau teman melainkan karena panggilan Allah. Itu berarti kita menjadi hamba Tuhan karena sesungguhnya panggilan Tuhan bukan panggilan jemaat/gereja. Mempercayai hal ini itu sama artinya kita mempercayakan kebutuhan kita kepada Tuhan. Banyak hamba Tuhan melakukan aktivitas rohani tetapi sesungguhnya melakukan aktivitas dengan orientasi duniawi.
Ketika berbicara gaji sering dikonotasikan-sekuler. Oleh karena itu, biasa beberapa gereja tidak memakai istilah ini tetapi dengan istilah lain yang nampak lebih halus. Masalah istilah, sesungguhnya tidak menjadi persoalan, yang lebih penting disini adalah motivasi terdalam yang mengiringinya. Apabila gaji diberlakukan dan menjadi pendapatan wajib bagi Hamba Tuhan sebenarnya tidak ada masalah. Yang jauh bermasalah adalah mengapa Gereja tidak memberikan ”gaji”? Pertanyaan mengapa harus dipahami tanpa tendensi apapun, jujur dan terbuka. Kalau tidak digaji karena memang keadaan gereja tidak mampu dan Hamba Tuhan menyadari panggilannya bukan mencari gaji, hal itu tidak jadi persoalan. Namun disayangkan apabila gereja mampu tetapi terlalu sulit memperhatikan kebutuhan Hamba Tuhan, mengapa?
Ada banyak hamba Tuhan digaji, pelayanan tidak teruji. Ada pula yang tanpa gaji tetapi pelayanan terpuji dan diakui. Secara sederhana bersyukurlah dengan apa yang kita miliki sekarang. Hamba Tuhan adalah jabatan/posisi yang Tuhan berikan bagi kita dan bukan dari manusia. Menyadari hal itu berarti kita mempercayakan kehidupan kita seutuhnya pada pemeliharaan Allah yang tidak pernah terlambat dalam waktu dan cara yang luar biasa. Ingat kembali, banyak orang menjadi hamba Tuhan bukan karena ingin melakukan sesuatu dari posisinya tetapi ingin mendapatkan sesuatu dari posisinya. Apakah itu termasuk kita? Jadilah hamba yang setia yang benar-benar menghidupi panggilan kita. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar